Selasa, 28 September 2010

Siapa Atau Apa Tuhan?

Jika Anda ingin berinteraksi dengan seseorang, tentulah Anda perlu mengenalnya, siapa dia serta apa nama maupun sifat-sifatnya ? Tuhan yang mencipta, yang diharapkan bantaun-Nya serta kepada-Nya bertumpu segala sesuatu, pastilah lebih perlu dikenal.
Banyak orang bahkan boleh jadi semua yang percaya tentang wujud-Nya, berusaha menjawab pertanyaan tentang Tuhan. Banyak jawaban yang diberikan dan tidak mustahil dalam rinciannya setiap orang mempunyai jawaban. Karena itu, boleh jadi sekelompok orang sepakat menyangkut Tuhan yang diajarkan oleh Agama yang mereka anut, tetapi tetap saja masing-masing mempunyai hubungan khusus, lagi amat pribadi dengan Tuhan-Nya seakan-akan Tuhan yang disembah-Nya itu adalah Tuhan dia sendiri.

Sungguh indah ilustrasi yang dikemukakan oelh ulama besar dan philosof muslim kontemporer Abdulkarim Alkhatib menyangkut hal di atas. Dalam bukunya “Qadiyat Al-Uluihiyah Bainal Falsafah Wad Din”" Dia menulis lebih kurang sperti berikut :
“Yang melihat/ Mengenal Tuhan, pada hakekatnya hanya melihat-Nya melalui wujud yang terhampar di bumi serta yang terbentang di langit. Yang demikian itu adalah penglihatan tidak langsung serta memerlukan pandangan hati yang tajam, akal yang cerdas lagi kalbu yang bersih. Mampukah Anda dengan membaca kumpulan syair seorang penyair, atau mendengar gubahan seseorang komposer,,, dengan melihat lukisan pelukis atau pemahat, mampukah Anda melihat hasil karya seni mereka, mengenal mereka tanpa melihat mereka langsung? Memang Anda bisa mengenal selayang pandang mereka, bahkan boleh jadi melalui imajinasi. Anda daoat membayangkannya sesuai kemampuan Anda membaca karya seni. Namun anda sendiri pada akhirnya akan saadar bahwa gambaran yang dilukiskan oleh imajinasi anda menyangkut para seniman itu, adalah pribadi dan merupakan ekspresi dari perasaan Anda sendiri. Demikian juga yang dialami orang lain yang berhubungan dengan para seniman itu, masing memilki pandangan pribadi yang berbeda dengan yang lain. Kalaupun ada yang sama, maka persamaan itu dalam bentuk gambaran umum menyangkut kekaguman falam berbagai tingkat. Kalau demikian itu adanya dalam memandang seniman melalui karya-karyanya, maka bgaimana dengan Tuhan, sedang Anda adalah setetes dari ciptaan-Nya?”

Kalau anda masih berkeras untuk mengenal-Nya, maka lakukan apa yang dikemukakan di atas, tetapi yakinlah bahwa hasilnya akan lebih jauh sedikit dari apa yang anda peroleh ketika ingin mengenal para seniman itu. Bukan kah hasil karya mereka terbatas, itupun belum tentu semuanya dapat anda jangkau- sedang hasil karya Tuhan sedemikian banyak sehingga mana mungkin Anda akan mampu mengenal-Nya walau pengenalan serupa dengan pengenalan terhadap seniman itu.
Buku : Menyingkap Tabir Ilahi
Pengarang : M. Quraish Shihab

Bahan Makalah tentang Tuhan

Written by Prof. Dr. S.M. Naquib al-Attas
Saturday, 20 August 2005
Makalah ini dicuplik dari karyanya Prolegomena to The Metaphysics of Islam,
penerbit ISTAC, Kuala Lumpur, 1995. (hal.5- 14) Kesalahan dan kejanggalan dalam penterjemahan adalah tanggung jawab penerjemah.red.
Konsep tentang Tuhan dalam Islam bersumber dari dan berdasarkan wahyu. Yang kami maksud dengan “wahyu“ di sini sama sekali bukanlah imajinasi seperti khayalan seorang penyair besar ataupun klaim para seniman terhadap diri mereka sendiri. Wahyu di sini juga bukan inspirasi apostolik seperti yang diklaim oleh para penulis kitab suci semacam Bibel; ia juga bukan intuisi iluminatif seorang ilmuwan atau pakar yang berpandangan tajam.
Wahyu yang kami maksud di sini adalah firman Tuhan tentang diriNya sendiri, ciptaanNya, relasi antara keduanya, serta jalan menuju keselamatan yang disampaikan pada Nabi dan Rasul pilihanNya, bukan melalui suara atau aksara, namun semuanya itu, telah Dia representasikan dalam bentuk kata-kata, kemudian disampaikan oleh Nabi pada umat manusia dalam sebuah bentuk bahasa dengan sifat yang baru, namun bisa dipahami, tanpa ada campur-aduk atau kerancuan (confusion) dengan subyektifitas dan imajinasi kognitif pribadi Nabi. Wahyu ini bersifat final, dan ia (yakni al-Qur’an) tidak hanya menegaskan kebenaran wahyu-wahyu sebelumnya dalam kondisinya yang asli, tapi juga mencakup substansi kitab-kitab sebelumnya, dan memisahkan antara kebenaran dan hasil budaya serta produk etnis tertentu.



Karena kita mengakui bahwa al-Qur’an adalah firman Tuhan yang diwahyukan dalam bentuk baru bahasa Arab, maka gambaran tentang sifat-sifat Tuhan di dalamnya merupakan deskripsi tentang diriNya oleh diriNya sendiri dan dengan kata-kataNya sendiri, menurut bentuk bahasa tersebut (Arab). Konsekuensinya berarti bahwa bahasa Arab al-Quran, interpretasinya dalam hadith, dan penggunaannya secara otentik dan otoritatif di sepanjang masa meneguhkan validitas bahasa tersebut ke derajat yang paling tinggi, sebagai bahasa yang digunakan untuk mendeskripsikan realitas dan kebenaran. Dalam pengertian ini dan berbeda dari kondisi pemikiran modernis dan post-modernis yang ada, kami berpendapat bahwa bukanlah concern Islam untuk terlibat jauh dalam permasalahan semantik bahasa secara umum, dimana para filosof bahasa menghadapi masalah dalam menyesuaikan or menghubungkan bahasa dengan dengan realitas yang sebenarnya secara tepat. Konsepsi mengenai sifat Tuhan yang berasal dari wahyu juga dibangun di atas fondasi akal dan intuisi, dan untuk beberapa kasus dibangun berdasarkan intuisi empirik, sebagai hasil pengalaman dan kesadaran manusia akan Tuhan dan ciptaanNya.




Sifat Tuhan yang dipahami dalam Islam, tidak sama dengan konsepsi Tuhan yang dipahami dalam doktrin dan tradisi keagamaan lain di dunia. Ia juga tidak sama dengan konsepsi Tuhan yang dipahami dalam tradisi filsafat Yunani dan Hellenistik. Ia tidak sama dengan konsepsi Tuhan yang dipahami dalam filsafat Barat atau tradisi sains; juga tidak sama dengan yang dipahami dalam tradisi mistisisme Timur maupun Barat. Kalaupun ada kemiripan yang mungkin ditemukan antara sifat Tuhan yang dipahami dalam Islam dengan berbagai macam konsepsi agama lain, maka itupun tidak bisa ditafsirkan sebagai bukti bahwa Tuhan yang dimaksud adalah sama, yakni Tuhan Universal Yang Esa (The One Universal God), karena masing-masing konsep tersebut digunakan sesuai dengan dan termasuk dalam sistem dan kerangka konseptual yang berbeda-beda, sehingga konsepsi tersebut yang merupakan suatu keseluruhan, atau super system, tidak sama antara satu dengan yang lain. Ini juga berarti bahwa tidak ada Kesatuan Transenden Agama-agama (transcendent unity of religions), jika yang dimaksud dengan kesatuan itu adalah ‘keesaan’ (tawhid) dan ‘kesamaan’. Demikian pula, jika yang dimaksud dengan ‘kesatuan’ itu bukan ‘keesaan’ dan ‘kesamaan’, berarti terdapat keanekaragaman (plurality) dan ketidaksamaan (dissimilarity) agama-agama, bahkan pada level transenden sekalipun. Namun jika diakui bahwa ada pluralitas atau ketidaksamaan pada level itu, dan yang dimaksud dengan ‘kesatuan’ adalah ‘kesalingterkaitan dari bagian-bagian yang membentuk keseluruhan’, maka, kesatuan adalah kesaling-berhubungan (interconnection) antara agama-agama ataupun berarti ketidaksamaan agama-agama, sebagai bagian-bagian yang membentuk suatu keseluruhan. Berangkat dari sini, dan jika demikian halnya, maka pada level kehidupan biasa, dimana manusia tunduk pada keterbatasan-keterbatasan kemanusiaan dan dunia materi, tentu tidak ada agama yang sempurna, setiap agama tidak ada yang sempurna, karena setiap agama dinilai tidak mampu mencapai tujuannya sendiri, dan hanya mampu mencapai tujuannya--- yaitu penyerahan diri yang benar pada Tuhan Universal yang Esa, tanpa mensekutukanNya dengan partner, rival, atau yang serupa dengan itu--- hanya pada level transenden. Pandangan semacam ini jelas keliru, sebab tujuan agama untuk direalisasikan sepenuhnya justeru dalam tataran kehidupan sehari-hari, dimana manusia tunduk pada keterbatasan-keterbatasan kemanusiaan dan dunia materi, bukan dalam tataran abstrak dimana manusia tidak tunduk pada keterbatasan-keterbatasan tersebut, sebagaimana terkandung dalam makna terma ‘transcendent’. Adapun jika arti ‘transcendent’ dikaitkan dengan suatu kondisi ontologis, di luar sepuluh kategori yang lazim, maka Tuhan yang dimaksud jelas bukan Tuhan agama (IlÉh) sehingga mustahil terdapat ‘kesatuan agama’ pada level tersebut. Pada level itu, Tuhan dikenal sebagai Rabb, bukan sebagai Ilah; mengenal Tuhan sebagai Rabb tidak mesti berarti mengakui keesaan atau kesamaan dalam pengakuan yang layak terhadap kebenaran yang dimaksud, karena Iblis juga mengakui Tuhan sebagai Rabb, namun tidak mengakuiNya dengan sebenarnya. Memang, seluruh keturunan Adam telah mengenalNya sebagi Rabb pada level tersebut. Namun, pengenalan manusia pada Tuhan seperti ini tidak benar, kecuali diikuti dengan pengakuan yang benar pada level, dimana Dia dikenal sebagai IlÉh. Dan pengakuan yang benar dimana Ia dikenal sebagai IlÉh mengandung makna tidak mensekutukannya dengan segala partner, rival, atau yang serupa dengan itu, dan berserah diri kepadaNya dengan cara dan keadaan yang diridhaiNya, dan diajarkan oleh Nabi yang diutusNya. Jika yang dimaksud dengan ‘transenden’ berkenaan dengan suatu kondisi psikologis pada level pengalaman dan kesadaran, yang melampaui pengalaman dan kesadaran umum di antara umat manusia, maka ‘kesatuan’ yang dialami dan dirasakan pada level transenden bukanlah agama, tapi merupakan pengalaman dan kesadaran keagamaan, yang hanya bisa dicapai oleh sedikit individu di antara umat manusia. Namun, agama maksudnya adalah mencapai tujuannya untuk seluruh umat manusia; dan umat manusia secara keseluruhan tidak pernah mampu mencapai level transenden, dimana pada level itu terdapat suatu kesatuan agama-agama.
Kemudian, jika kesatuan pada level tersebut yang merupakan penghubung dari pluralitas atau ketidaksamaan agama-agama, “sebagai bagian-bagian yang membentuk keseluruhan� telah ditolak - karena setiap agama pada level kehidupan biasa bukanlah bagian dari suatu keseluruhan tapi merupakan suatu keseluruhan itu sendiri - maka kesatuan yang berarti keesaan atau kesamaan disitu bukanlah agama itu sendiri, tapi keesaan Tuhan agama-agama pada level transenden (yakni, esoteris). Ini berarti bahwa meskipun terdapat pluralitas dan keragaman agama-agama pada level kehidupan biasa (eksoteris), setiap agama mampu dan absah dengan caranya sendiri-sendiri yang terbatas, masing-masing otentik dan membawa kebenaran yang sama meskipun terbatas. Nampaknya, gagasan pluralitas kebenaran yang berasal dari kesamaan validitas dalam pluralitas dan keragaman agama-agama selaras dengan pernyataan dan konklusi umum filsafat dan sains modern, yang muncul dari penemuan adanya pluralitas dan diversitas hukum-hukum yang mengatur alam, yang memiliki validitas yang sama dalam sistem kosmologisnya sendiri. Kecenderungan untuk mengkaitkan penemuan ilmiah modern tentang sistem alam semesta ini dengan pernyataan yang dikaitkan dengan masyarakat manusia, tradisi budaya dan nilai-nilai adalah merupakan salah satu karakteristik dan gambaran umum modernitas.
Pendapat mereka yang mendukung teori kesatuan transenden agama-agama didasarkan pada asumsi bahwa, semua agama, yakni semua agama-agama besar yang dianut oleh umat manusia, adalah agama wahyu. Mereka berasumsi bahwa, universalitas dan esoterisme transenden membenarkan teori mereka, suatu teori yang mereka “temukan“ setelah mereka berkenalan dengan metafisika Islam. Mereka selanjutnya berasumsi bahwa pemahaman mereka terhadap metafisika kesatuan transenden eksistensi (Transcendent Unity of Existence) telah mengandung implikasi kesatuan transenden agama-agama. Ada kesalahan fatal dalam seluruh asumsi-asumsi mereka ini. Bahkan istilah ‘kesatuan transenden agama-agama’ (transcendent unity of religions) itu sendiri cukup menyesatkan, sebuah istilah yang boleh jadi lebih merupakan suatu motif untuk agenda terselubung, ketimbang keyakinan yang mereka percayai kebenarannya. Klaim kepercayaan yang ada pada mereka mengenai kesatuan transenden agama-agama sebenarnya merupakan hasil rekaan imajinasi induktif mereka, dan semata-mata bersumber dari spekulasi intelektual, bukan dari pengalaman konkrit. Jika asumsi ini ditolak, dan mengingat klaim mereka berasal dari pengalaman orang lain (bukan pengalaman sendiri), maka bisa kita katakan bahwa, perasaan kesatuan yang dialami bukanlah agama, tapi merupakan derajat yang berbeda-beda dari pengalaman religius individu yang tidak bisa digiring pada asumsi, bahwa agama-agama secara individu, yang mengalami ‘kesatuan’ seperti ini, mengandung kebenaran dengan validitas yang sama dengan agama-agama wahyu pada tataran kehidupan biasa.
Selanjutnya, sebagaimana telah dinyatakan di atas, Tuhan yang dirasakan dari pengalaman tersebut dikenal sebagai Rabb, bukan IlÉh yang terdapat dalam agama wahyu. Dan mengenalNya sebagai Rabb belum bisa diartikan mengakuiNya dengan penyerahan diri yang benar karena pengenalan itu. Ini karena pengingkaran, arogansi dan kebohongan berasal dari wilayah transenden itu sendiri. Hanya ada satu agama wahyu. Itu adalah agama yang disampaikan oleh seluruh Nabi-Nabi terdahulu, yang diutus untuk mengajarkan pesan-pesan wahyu kepada umat mereka masing-masing, sesuai dengan kebijaksanaan dan keadilan rencana Tuhan untuk mempersiapkan umat manusia menerima agama dalam bentuknya yang paling tinggi dan sempurna, sebagai agama universal di tangan Nabi terakhir (Muhammad saw), yang diutus untuk menyampaikan pesan-pesan wahyu, tidak hanya pada umatnya, tapi juga kepada seluruh umat manusia. Semua pesan wahyu pada intinya selalu sama: untuk mengenal, mengakui dan menyembah Kebenaran Tunggal dan Tuhan Hakiki yang Esa (IlÉh), tanpa mensekutukanNya dengan segala partner, rival, atau yang serupa dengan itu, tidak juga mensifatkan sesuatu serupa dengan Dia; dan untuk menegaskan kebenaran yang diajarkan oleh Nabi-Nabi terdahulu, dan juga untuk menegaskan kebenaran final yang dibawa oleh Nabi terakhir, sebagaimana yang telah ditegaskan oleh seluruh Nabi-Nabi yang diutus sebelum beliau (yakni sang Nabi terakhir). Dengan pengecualian umat Nabi terakhir ini, yang melalui mereka agama wahyu sepenuhnya mencapai kesempurnaan, dan yang keasliannya masih terjaga hingga saat ini. Mayoritas umat manusia secara sadar telah meninggalkan petunjuk yang disampaikan oleh Nabi terakhir. Mereka lebih menyukai dan memilih mengikuti ajaran-ajaran buatan manusia yang merupakan hasil kreasi budaya dan temuan etnis mereka sendiri, lalu mengklaim bahwa itu semua sebagai ‘agama-agama’ imitasi dari agama wahyu.
Sesungguhnya hanya ada satu agama wahyu yang asli, yang bernama IslÉm. Manusia yang mengikuti agama ini dipuji oleh Tuhan sebagai sebaik-baik umat manusia. Mengenai beberapa umat manusia yang memilih untuk mengikuti bentuk kepercayaan dan praktek mereka sendiri yang bermacam-macam, yang dianggap sebagai agama, pencapaian mereka pada Kebenaran merupakan penemuan mereka kembali, dengan bantuan petunjuk dan kesungguhan hati. Mengenai hal ini secara jelas telah ditunjukkan dalam Islam, bahkan pada tataran kehidupan biasa. Hanya Islam yang mengakui dan menegaskan keesaan Tuhan secara absolut tanpa harus mencapai level transenden; tanpa mengacaukan pengakuan dan penegasan ini dengan bentuk kepercayaan dan praktek tradisional yang dianggap sebagai agama; tanpa membaurkan pengakuan dan penegasan ini dengan kreasi budaya dan invensi etnis yang ditafsirkan sebagai imitasi agama wahyu. Karena itu, Islam tidak menerima apapun kesalahan dalam memahami Wahyu, dan dalam pengertian ini, Islam bukan sekedar rangka atau bentuk (form) semata-mata, tapi esensinya itulah sendiri adalah agama (dÊn). Dalam kasus Islam kita tidak mengenal sebuah garis horisontal yang memisahkan sisi eksoteris dari esoteris dalam memahami Kebenaran dalam agama. Kita lebih menjaga suatu garis kontinuitas vertikal dari eksoteris ke esoteris; suatu garis kontinuitas vertikal yang kita kenal sebagai jalan yang lurus: IslÉm, ÊmÉn dan i�sÉn, tanpa adanya inkonsistensi pada tiga tahapan kenaikan spiritual, dengan cara itulah Realitas atau kebenaran transenden yang dikenal dan diakui dalam kasus kita, bisa dicapai oleh banyak orang.
Tidak ada gunanya menyamarkan atau menutup-nutupi kesalahan dan kekeliruan suatu agama dalam memahami dan menginterpretasikan kitab suci yang mereka yakini bersumberkan wahyu. Yaitu dengan mengikuti karakteristik dan ciri-ciri khusus pelbagai bentuk etnis dan simbolisme, dan kemudian menafsirkan simbol-simbol itu dengan metode hermeneutika yang memperdayakan, sehingga kesalahan tersebut tampak sebagai kebenaran. Agama tidak hanya terdiri dari pernyataan mengenai keesaan Tuhan (taw�Êd), tapi juga menyangkut cara dan bentuk verifikasi pernyataan itu sebagaimana ditunjukkan oleh NabiNya yang terakhir, yang mengkonfirmasi, menyempurnakan dan mengkonsolidasikan cara dan bentuk afirmasi serta verifikasi Nabi-Nabi sebelumnya. Cara dan bentuk verifikasi tawhid yang dimaksud adalah cara dan bentuk penyerahan diri pada Tuhan. Pengujian afirmasi kebenaran keesaan Tuhan adalah bentuk dari penyerahan diri pada Tuhan tersebut. Ini karena bentuk penyerahan diri yang diperankan oleh agama yang mengafirmasi keesaan Tuhan, benar menurut verifikasi afirmasi ini, dan agama yang khusus itu adalah Islam. Karena itu, Islam bukan hanya kata benda verbal yang menunjuk pada penyerahan diri; Islam adalah nama sebuah agama yang khusus yang mendeskripsikan penyerahan diri yang benar, yang juga merupakan definisi agama itu: yakni penyerahan diri pada Tuhan. Cara dan bentuk penyerahan diri yang dilakukan dalam suatu agama secara definitif dipengaruhi oleh konsepsi mengenai Tuhan dalam agama itu. Karena itu, konsepsi mengenai Tuhan dalam agama amat krusial, khususnya dalam mengartikulasikan secara benar bentuk penyerahan diri yang sesungguhnya; dan konsepsi ini harus mampu untuk mendeskripsikan sifat Tuhan yang benar, yang hanya bisa diperoleh dari wahyu, bukan dari tradisi budaya atau etnis tertentu, tidak juga dari percampuran antara etnis dan tradisi budaya dengan kitab suci, tidak juga dari spekulasi filosofis yang berdasarkan penemuan sains.


Konsepsi mengenai sifat Tuhan dalam Islam adalah merupakan perwujudan dari apa yang telah diwahyukan kepada para Nabi sesuai dengan al-Qur’an. Dia adalah Tuhan yang Esa; Maha Hidup, Berdiri Sendiri, Kekal dan Abadi. Maha Hidup adalah zatNya yang paling hakiki. Dia Maha Esa; ZatNya tidak mungkin terbagi-bagi, baik dalam imaginasi, realitas maupun pengandaian. Dia bukanlah tempat untuk disifatkan, dan Dia bukan juga sesuatu yang bisa dibagi-bagi menjadi bagian-bagian, dan Dia bukan juga sesuatu yang merupakan gabungan dari elemen-elemen pokok. KeesaanNya bersifat absolut (mutlak) dengan kemutlakan yang tidak sama dengan kemutlakan dalam dunia natural. Walaupun Ia absolut, Ia sendiri dalam kemutlakan diri-Nya (individuation) tidak mengurangi kemurnian kemutlakanNya dan kesucian keesaanNya. Dia bersifat transenden, dengan transendensi yang tetap memungkinkanNya untuk hadir di setiap tempat (omnipresent) dalam waktu yang sama, karena itu, Ia juga hadir secara immanen, tetapi bukan dalam pengertian yang dipahami dalam paradigma pantheisme. Dia memiliki sifat-sifat yang murni dan abadi yang merupakan sifat-sifat dan kesempurnaan-kesempurnaan yang berasal dari diriNya sendiri. Sifat dan kesempurnaan ini tak lain dari zatNya, dan tetapi sifat dan kesempurnaan ini berbeda dari zatNya, dan berbeda antara sifat yang satu dengan yang lain, dengan tidak menjadikan realitas sifat-sifat itu dan keberbedaannya sebagai entitas terpisah yang hidup berpisah dari zatNya, yang merupakan sebuah pluralitas yang abadi; sifat-sifat itu bergabung dengan zatNya sebagai sebuah kesatuan yang tidak terimajinasi. Jadi, kesatuannya merupakan kesatuan zat, sifat dan aksi. Karena Ia hidup dan berkuasa, mengetahui, berkehendak, mendengar, melihat dan berbicara melalui sifatNya yang maha Hidup dan Berkuasa, maha Mengetahui, Berkehendak, Mendengar, Melihat dan berbicara; dan semua yang bertentangan dengan ini merupakan sesuatu yang mustahil bagiNya.


Dia tidak sama dengan Sang Penggerak Pertama (First Mover) dalam filsafat Aristoteles, karena Dia selalu bertindak dan berbuat sebagai pelaku yang bebas, yang senantiasa aktif dan kreatif, abadi dan terus-menerus. Namun samasekali tidak berarti bahwa perubahan, transformasi dan ‘proses menjadi’ terjadi pada diriNya. Tidak seperti tuhannya Plato atau Aristoteles, Dia terlalu agung untuk menerima dualisme bentuk dan zat pada aktifitas kreatifNya. Penciptaan dan ciptaanNya juga tidak bisa dideskripsikan dalam terma metafisika emanasi menurut Plotinus. Penciptaan olehNya merupakan perwujudan realitas ideal yang sudah ada sebelumnya dalam pengetahuanNya, ke dalam eksistensi eksternal dengan kekuatan dan kehendakNya; realitas-realitas ini merupakan entitas-entitas, Dia menjadikannya nyata dalam kondisi batin keberadaanNya. PenciptaanNya merupakan sebuah aksi tunggal yang berulang dalam proses yang abadi, sementara isi proses itu yang merupakan ciptaanNya tidak bersifat kekal, walaupun ciptaan itu merupakan sesuatu yang baru namun tetap dalam kesamaan dalam jangka eksistensi yang berbeda sesuai dengan kehendakNya. (penerjemah: Harris Susmana)

Minggu, 26 September 2010

WAWASAN NUSANTARA

A. WAWASAN NUSANTARA
Wawasan nusantara yang biasa disingkat wasantara berasala dari kata wawas (kata induk mawas) yang mempunyai arti pandang, melihat. Dengan memberikan akhiran -an maka akan mempunyai tambahan arti cara. Wawasan berarti suatu cara pandang/lihat. Kata pandang dapat diperluas menjadi respon, menyikapi, langkah. Jadi, wawasan adalah suatu cara menyikapi dengan dasar yang tertentu sebagai acuan.
Sedangkan nusantara berasal dari dua kata yaitu nusa dan antara. Nusa merupakan isitilah jawa kuno mempunyai arti pulau. Antara mengandung makna ada sesuatu yang diapit. Nusantara berarti pulau yang mengapit. Jika diperluas dapat diartikan sebagai kepulauan yang saling terikat satu sama lain.
Jadi wawasan nusantara secara arti kata adalah cara pandang suatu bangsa berkepulaun dalam menyikapi permasalahan-permasalahan dalam kehidupannya dengan kondisi beraneka ragam. Sedangkan defini sebagai bangsa Indonesia Wawasan nusantara adalah cara pandang bangsa Indonsia tentang diri dan lingkungan sekitarnya berdasarkan ide nasionalnya yang berlandaskan pancasila dan UUD 1945 yang merupakan aspirasi bangsa Indonsia yang merdeka dan berdaulat untuk mencapai tujuan nasional.
Definisi resminya menurut Ketetapan MPR Tahun 1993 dan 1998 tentang GBHN, Wawasan Nusantara yang bersumber pada Pancasila dan berdasarkan UUD 1945 adalah cara pandang dan sikap bangsa Indonesia mengenai diri dan lingkungannya dengan mengutamakan persatuan dan kesatuan bangsa serta kesatuan wilayah dalam menyelengarakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara untuk mencapai tujuan nasional.
Ada pula definisi menurut orang-orang/lembaga terkemuka antara lain :
1. Definisi menurut Prod. Dr.Was Usman
Cara pandang bangsa Indonesia mengenai diri dan tanah airnya sebagai Negara kepulauan dengan semua aspek yang beragam.
2. Definisi menurut Kelompok Kerja LEMHANAS
Cara pandang dan sikap bangsa Indonesia mengenai diri dan lingkungannya yang serba beragam dan bernilai strategis dengan mengutamakan persatuan dan kesatuan bangsa serta kesatuan wilayah dalam menyelenggarakan kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara untuk mencapai tujuan nasional.

Wawasan Nusantara telah diterima dan disahkan sebagai konsepsi politik kewarganegaraan yang termaktub / tercantum dalam dasar-dasar berikut ini :
- Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1973 tanggal 22 maret 1973
- TAP MPR Nomor IV/MPR/1978 tanggal 22 maret 1978 tentang GBHN
- TAP MPR nomor II/MPR/1983 tanggal 12 Maret 1983

Ruang lingkup dan cakupan wawasan nusantara dalam TAP MPR ‘83 dalam mencapat tujuan pembangunan nasionsal :
- Kesatuan Politik
  a. Bahwa kebulatan wilayah nasional dengan segala isi dan kekayaannya.
b. Bahwa bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai suku dan berbicara dalam berbagai bahasa
  daerah serta memeluk dan meyakini berbagai agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang
  Maha Esa harus merupakan satu kesatuan bangsa yang bulat dalam arti yang seluas-luasnya.
c. Bangsa Indonesia harus merasa satu, senasib sepenanggungan, sebangsa, dan setanah air, serta
  mempunyai tekad dalam mencapai cita-cita bangsa.
  d. Bahwa Pancasila adalah satu-satunya falsafah serta ideologi bangsa dan negara .
  e. Bahwa kehidupan politik di seluruh wilayah Nusantara merupakan satu kesatuan politik.
  f. Bahwa seluruh Kepulauan Nusantara merupakan satu kesatuan sistem hukum.
  g. Bahwa bangsa Indonesia yang hidup berdampingan dengan bangsa lain ikut menciptakan
  ketertiban dunia.

- Kesatuan Ekonomi
  a. Bahwa kekayaan wilayah Nusantara baik potensial maupun efektif adalah modal dan milik
  bersama.
  b. Tingkat perkembangan ekonomi harus serasi dan seimbang di seluruh daerah, tanpa
  meninggalkan ciri khas.
  c. Kehidupan perekonomian di seluruh wilayah Nusantara merupakan satu kesatuan ekonomi yang
  diselenggarakan sebagai usaha bersama.

- Kesatuan Sosial Budaya
  a. Bahwa masyarakat Indonesia adalah satu, perikehidupan bangsa.
  b. Bahwa budaya Indonesia pada hakikatnya adalah satu, sedangkan corak ragam budaya yang ada
  menggambarkan kekayaan budaya bangsa yang menjadi modal dan landasan pengembangan
  budaya bangsa.

- Kesatuan Pertahanan Keamanan
  a. Bahwa ancaman terhadap satu pulau atau satu daerah pada hakekatnya merupakan ancaman
  terhadap seluruh bangsa dan negara.
  b. Bahwa tiap-tiap warga negara mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam rangka
  pembelaan negara dan bangsa.

Tujuan dari Wawasan Nusantara dibagi menjadi dua tujuan, yaitu tujuan nasional dan tujuan ke dalam. Tujuan nasional dapat dilihat dalam Pembukaan UUD ’45. Pada UUD ’45 dijelaskan bahwa tujuan kemerdekaan Indonesia adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk mewujudkan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Sedangkan tujuan yang kedua, yaitu tujuan ke dalam, adalah mewujudkan kesatuan segenap aspek kehidupan baik alamiah maupun sosial. Maka dapat disimpulkan bahwa tujuan bangsa Indonesia adalah menjunjung tinggi kepentingan nasional, serta kepentingan kawasan untuk menyelenggarakan dan membina kesejahteraan, kedamaian dan budi luhur serta martabat manusia di seluruh dunia.

B. IMPLEMENTASI WAWASAN NUSANTARA
1.Wawasan Nusantara sebagai Pancaran Falsafah Pancasila diyakini sebagai pandangan hidup bangsa
  Indonesia yang sesuai dengan aspirasinya.
2. Wawasan Nusantara dalam Pembangunan Nasional
  Perwujudan kedaulatan nusantara sebagai satu kesatuan politik, ekonomi, sosial budaya dan
  pertahanan keamanan.
3. Penerapan Wawasan Nusantara
  a. Di bidang wilayah, adalah diterima konsepsi Nusantara di forum internasional, sehingga
  terjaminlah integritas wilayah teritorial bangsa Indonesia.
  b. Pertambahan luas wilayah sebagai ruang hidup tersebut menghasilkan sumber daya alam yang
  cukup besar untuk kesejahteraan bangsa Indonesia.
  c. Pertambahan luas wilayah tersebut dapat diterima oleh dunia international termasuk negara-
  negara tetangga.
  d. Penerapan Wawasan nusantara dalam pembangunan negara di berbagai bidang.
  e. Penerapan di bidang sosial budaya.
  f. Penerapan wawasan nusantara di bidang Pertahanan Keamanan.



C. LATAR BELAKANG WAWASAN NUSANTARA
Salah satu persyaratan mutlak harus dimiliki oleh sebuah negara adalah wilayah kedaulatan, di samping rakyat dan pemerintahan yang diakui. Konsep dasar wilayah negara kepulauan telah diletakkan melalui Deklarasi Djuanda 13 Desember 1957.
Ada bangsa yang secara eksplisit mempunyai cara bagaimana ia memandang tanah airnya beserta lingkungannya. Cara pandang itu biasa dinamakan wawasan nasional.
Tetapi cukup banyak juga negara yang tidak mempunyai wawasan, seperti: Thailand, Perancis, Myanmar dan sebagainya. Indonesia wawasan nasionalnya adalah wawasan nusantara yang disingkat wasantara. Unsur-unsur dasar wasantara itu ialah: wadah (contour atau organisasi), isi, dan tata laku. Dari wadah dan isi wasantara itu, tampak adanya bidang-bidang usaha untuk mencapai kesatuan dan keserasian dalam bidang-bidang yaitu Satu kesatuan Wilayah, Bangsa, Budaya, Ekonomi dan Hankam.
Kelengkapan dan keutuhan pelaksanaan wasantara akan terwujud dalam terselenggaranya ketahanan nasional Indonesia yang senantiasa harus ditingkatkan sesuai dengan tuntutan zaman.
Bila diperhatikan lebih jauh kepulauan Indonesia yang duapertiga wilayahnya adalah laut membentang ke utara dengan pusatnya di pulau Jawa membentuk gambaran kipas. Sebagai satu kesatuan negara kepulauan, secara konseptual, geopolitik Indonesia dituangkan dalam salah satu doktrin nasional yang disebut Wawasan Nusantara dan politik luar negeri bebas aktif. , sedangkan geostrategi Indonesia diwujudkan melalui konsep Ketahanan Nasional yang bertumbuh pada perwujudan kesatuan ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya dan pertahanan keamanan.

D. ISI WAWASAN NUSANTARA
Isi wawasan nusantara tercemin dalam perspektif kehidupan manusia Indonesia meliputi :
a. Cita-cita bangsa Indonesia tertuang di dalam Pembukaan UUD 1945 yang menyebutkan:
  1) Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
  2) Rakyat Indonesia yang berkehidupan kebangsaan yang bebas.
  3) Pemerintahan Negara Indonesia melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
  darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa,
  dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan
  keadilan sosial.
b. Asas keterpaduan semua aspek kehidupan nasional berciri manunggal, utuh menyeluruh meliputi :
  1. Satu kesatuan wilayah nusantara yang mencakup daratan perairan dan dirgantara secara terpadu.
  2. Satu kesatuan politik, dalam arti satu UUD dan politik pelaksanaannya serta satu ideologi dan
  identitas nasional.
  3. Satu kesatuan sosial-budaya, dalam arti satu perwujudan masyarakat Indonesia atas dasar
  “Bhinneka Tunggal Ika”.
  4. Satu kesatuan ekonomi dengan berdasarkan atas asas usaha bersama dan asas kekeluargaan.
  5. Satu kesatuan pertahanan dan keamanan dalam satu system terpadu.
  6. Satu kesatuan kebijakan nasional.

Tata Laku Wawasan Nusantara Mencakup Dua Segi, Batiniah dan Lahiriah
Tata laku merupakan dasar interaksi antara wadah dengan isi, yang terdiri dari tata laku tata laku batiniah dan lahiriah. Tata laku batiniah mencerminkan jiwa, semangat, dan mentalitas yang baik dari bangsa indonesia, sedang tata laku lahiriah tercermin dalam tindakan , perbuatan, dan perilaku dari bangsa idonesia. Tata laku lahiriah merupakan kekuatan yang utuh, dalam arti kemanunggalan. Meliputi perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan pengendalian.

E. Kedudukan wawasan nusantara
  1. Pancasila sebagai falsafah, ideolgi, dan dasar negara berkedudukan sebagai landasan idiil
  2. UUD 1945 sebagai landasan konstitusi negara.
  3. Wawasan nusantara sebagai visi nasional, berkedudukan sebagai landasan visional
  4. Ketahanan nasional sebagai konsepsi nasional sebagai kebijakan nasional, berkedudukan sebagai
  landasan operasional.


F. Arah Pandang
1. Arah Pandang Ke Dalam
Arah pandang ke dalam bertujuan menjamin perwujudan persatuan kesatuan segenap aspek kehidupan nasional, baik aspek alamiah maupun sosial.
2. Arah Pandang Ke Luar
Arah pandang ke luar ditujukan demi terjaminnya kepentingan nasional dalam dunia serba berubah maupun kehidupan dalam negeri serta dalam melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial, serta kerja sama dan sikap saling menghormati.

G. Tantangan Implementasi Wawasan Nusantara
Dewasa ini kita menyaksikan bahwa kehidupan individu dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sedang mengalami perubahan. Dan kita juga menyadari bahwa faktor utama yang mendorong terjadinya proses perubahan tersebut adalah nilai-nilai kehidupan baru yang di bawa oleh negara maju dengan kekuatan penetrasi globalnya. Apabila kita menengok sejarah kehidupan manusia dan alam semesta, perubahan dalam kehidupan itu adalah suatu hal yang wajar, alamiah.
Berkaitan dengan wawasan nusantara yang syarat dengan nilai-nilai budaya bangsa Indonesia dan di bentuk dalam proses panjang sejarah perjuangan bangsa, apakah wawasan bangsa Indonesia tentang persatuan dan kesatuan itu akan terhanyut tanpa bekas atau akan tetap kokoh dan mampu bertahan dalam terpaan nilai global yang menantang Wawasan Persatuan bangsa. Tantangan itu antara lain adalah pemberdayaan rakyat yang optimal, dunia yang tanpa batas, era baru kapitalisme, dan kesadaran warga negara.

Aspek Politik
a. Kebulatan wilayah dengan segala isinya merupakan modal dan milik bersama bangsa Indonesia
b. Keanekaragaman suku, budaya, dan bahasa daerah, serta agama yang dianutnya tetap dalam
  kesatuan bangsa Indonesia
c. Secara psikologis, bangsa Indonesia merasa satu persaudaraan, senasib dan seperjuangan, sebangsa
  dan setanah air dalam mencapai cita-cita bangsa.
  d. Pancasila merupakan dasar falsafah dan ideology yang dapat mempersatukan bangsa Indonesia
  menuju tercapainya suatu cita-cita nasional.

Aspek Ekonomi
  a. Kekayaan di wilayah nusantara secara potensial dan efektif menjadi modal dan milik bersama
  bangsa Indonesia untuk memenuhi kebutuhan pembangunan bangsa secara merata.
  b. Tingkat perkembangan ekonomi harus seimbang dan serasi diseluruh daerah dalam wilayah
  Indonesia.
  c. Kehidupan perekonomian di seluruh wilayah nusantara diselenggarakan sebagai usaha bersama
  dengan asas kekeluargaan

  Aspek Ideologi
  Secara ideologis-konstitusional, bangsa Indonesia berdasarkan pada nilainilai Pancasila dan UUD
  1945.

  Aspek Pertahanan Keamanan
Wawasan Nasional bangsa Indonesia adalah Wawasan Nusantara yang merupakan pedoman bagi proses pembangunan nasional menuju tujuan nasional. Sedangkan ketahanan nasional merupakan kondisi yang harus diwujudkan agar proses pencapaian tujuan nasional tersebut dapat berjalan dengan sukses. Dapat dikatakan bahwa Wawasan Nusantara dan ketahanan nasional merupakan dua konsepsi dasar yang saling mendukung sebagai pedoman bagi penyelenggaraan kehidupan barbangsa dan bernegara agar tetap jaya dan berkembang seterusnya.

  Aspek Sosial Budaya
  Untuk mempercepat tercapainya tujuan wawasan Nusantara, disamping implementasi dapat
  dilakukan dengan cara berikut

  1. Menurut sifat atau cara penyampaian
  a. Langsung yang terdiri dari ceramah, diskusi, dialog, tatap muka
  b. Tidak langsung, yang terdiri dari media elektronik dan media cetak
  2. Menurut metode penyampaian
  a. Keteladanan.
  b. Edukasi
  c. Komunikasi.
  d. Integrasi.


Ir H Djuanda Kartawidjaja (1911-1963)
Pendeklarasi Negara Kepulauan

Perdana Menteri Ir H Djuanda Kartawidjaja, pada 13 Desember 1957 mendeklarasikan bahwa Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan. Pria kelahiran Tasikmalaya, Jawa Barat, 14 Januari 1911, itu dengan kepemimpinan yang berani dan visioner mendeklarasikan bahwa semua pulau dan laut Nusantara adalah satu kesatuan yang tidak terpisahkan (wawasan nusantara). Maka sangat bijak ketika hari Deklarasi Djuanda itu kemudian melalui Keppres No.126/2001 dikukuhkan sebagai Hari Nusantara.

Ir H Djuanda Kartawidjaja, lulusan Technische Hogeschool (Sekolah Tinggi Teknik) – sekarang Institut Teknologi Bandung (ITB), yang beberapa kali menjabat menteri di antaranya Menteri Perhubungan, Pengairan, Kemakmuran, Keuangan dan Pertahanan, itu sebelumnya sangat risau melihat pengakuan masyarakat internasional kala itu yang hanya mengakui bahwa batas laut teritorial selebar 3 mil laut terhitung dari garis pantai terendah. Itu artinya pulau-pula Nusantara dalam wilayan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diproklamirkan 17 Agustus 1945, adalah pulau-pulau yang terpisah-pisah oleh perairan (lautan) internasional (bebas).

Negara-negara lain, terutama Amerika Serikat dan Australia, sangat berkepentingan mempertahankan kondisi pulau-pulau Indonesia yang terpisah-pisah itu. Tetapi PM Djuanda dengan berani mendobrak kepentingan negara-negara maju itu.

Dengan berani dia mengumumkan kepada dunia (Deklarasi Djuanda 13 Desember 1957) bahwa segala perairan di sekitar, di antara, dan yang menghubungkan pulau-pulau yang termasuk dalam daratan Republik Indonesia, dengan tidak memandang luas atau lebarnya, adalah bagian yang wajar dari wilayah daratan Negara Republik Indonesia dan dengan demikian merupakan bagian dari perairan pedalaman atau perairan nasional yang berada di bawah kedaulatan Negara Republik Indonesia.

Djuanda, dengan berani mengumumkan kepada dunia, bahwa wilayah laut Indonesia tidaklah sebatas yang diatur dalam Territoriale Zee Maritiem Kringen Ordonantie (ordonansi tentang laut teritorial dan lingkungan maritim) 1939, tetapi wilayah laut Indonesia adalah termasuk laut di sekitar, diantara, dan di dalam Kepulauan Indonesia.

Deklarasi tiu juga menyatakan penentuan batas laut 12 mil yang diukur dari garis-garis yang menghubungkan titik terluar pada pulau-pulau Negara Republik Indonesia akan ditentukan dengan Undang-undang.

Deklarasi itu ditentang oleh Amerika Serikat dan Australia. Namun, Djuanda dan para penerus dalam pemerintahan berikutnya, di antaranya Prof Dr Mochtar Kusumaatmadja dan Prof Dr Hasyim Djalal, dengan gigih berjuang melalui diplomasi sehingga konsepsi negara nusantara tersebut diterima dan ditetapkan dalam Konvensi Hukum Laut PBB, United Nation Convention on Law of the Sea (UNCLOS) 1982.

Dengan demikian, Indonesia menjadi negara kepulauan dan maritim terbesar di dunia. Memiliki wilayah laut seluas 5,8 juta km2 yang merupakan tiga per empat dari keseluruhan wilayah Indonesia. Di dalam wilayah laut itu terdapat sekitar 17.500 lebih dan dikelilingi garis pantai sepanjang 81.000 km, yang merupakan garis pantai terpanjang kedua di dunia setelah Kanada.

Deklarasi Djuanda secara geo-politik memiliki arti yang sangat strategis bagi kesatuan, persatuan, pertahanan dan kedaulatan serta kemajuan Indonesia. Deklarasi Djoeanda dapat disebut merupakan pilar utama ketiga dari bangunan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tiga pilar utama tersebut adalah: (1) Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 yang merupakan pernyataan Kesatuan Kejiwaan Indonesia; (2) Proklamasi 17 Agustus 1945 sebagai pernyataan kemerdekaan NKRI; Delarasi Djuanda 13 Desember 1957 sebagai pernyataan Kesatuan Kewilayahan Indonesia (darat, laut dan udara).

Secara geo-ekonomi Deklarasi Djuanda juga strategis bagi kejayaan dan kemakmuran Indonesia. Sebagai negara kepulauan dan maritim terbesar di dunia, Indonesia memiliki kekayaan laut yang sangat besar dan beraneka-ragam, baik berupa sumberdaya alam terbarukan (seperti perikanan, terumbu karang, hutan mangrove, rumput laut, dan produk-produk bioteknologi), sumberdaya alam yang tak terbarukan (seperti minyak dan gas bumi, emas, perak, timah, bijih besi, bauksit, dan mineral lainnya), juga energi kelautan seperti pasang-surut, gelombang, angin, dan OTEC (Ocean Thermal Energy Conversion), maupun jasa-jasa lingkungan kelautan seperti pariwisata bahari dan transportasi laut.

Abdi Negara
Ir Djuanda seorang abdi negara dan abdi masyarakat. Dia seorang pegawai negeri yang patut diteladani. Meniti karir dalam berbagai jabatan pengabdian kepada negara dan bangsa. Semenjak lulus dari Technische Hogeschool (1933) dia memilih mengabdi di tengah masyarakat. Dia memilih mengajar di SMA Muhammadiyah di Jakarta dengan gaji seadanya. Padahal, kala itu dia ditawari menjadi asisten dosen di Technische Hogeschool dengan gaji lebih besar.

Setelah empat tahun mengajar di SMA Muhammadiyah Jakarta, pada 1937, Djuanda mengabdi dalam dinas pemerintah di Jawaatan Irigasi Jawa Barat. Selain itu, dia juga aktif sebagai anggota Dewan Daerah Jakarta.

Setelah Proklamasi 17 Agustus 1945, tepatnya pada 28 September 1945, Djuanda memimpin para pemuda mengambil-alih Jawatan Kereta Api dari Jepang. Disusul pengambil-alihan Jawatan Pertambangan, Kotapraja, Keresidenan dan obyek-obyek militer di Gudang Utara Bandung.

Kemudian pemerintah RI mengangkat Djuanda sebagai Kepala Jawatan Kereta Api untuk wilayah Jawa dan Madura. Setelah itu, dia diangkat menjabat Menteri Perhubungan. Dia pun pernah menjabat Menteri Pengairan, Kemakmuran, Keuangan dan Pertahanan. Beberapa kali dia memimpin perundingan dengan Belanda. Di antaranya dalam Perundingan KMB, dia bertindak sebagai Ketua Panitia Ekonomi dan Keuangan Delegasi Indonesia. Dalam Perundingan KMB ini, Belanda mengakui kedaulatan pemerintahan RI.

Djuanda sempat ditangkap tentara Belanda saat Agresi Militer II tanggal 19 Desember 1948. Dia dibujuk agar bersedia ikut dalam pemerintahan Negara Pasundan. Tetapi dia menolak.

Dia seorang abdi negara dan masyarakat yang bekerja melampaui batas panggilan tugasnya. Mampu menghadapi tantangan dan mencari solusi terbaik demi kepentingan bangsa dan negaranya. Karya pengabdiannya yang paling strategis adalah Deklarasi Djuanda 13 Desember 1957.

Dia seorang pemimpin yang luwes. Dalam beberapa hal dia kadangkala berbeda pendapat dengan Presiden Soekarno dan tokoh-tokoh politik lainnya. Djuanda meninggal dunia di Jakarta 7 November 1963 dan dimakamkan di TMP Kalibata, Jakarta.


Deklarasi Djuanda yang dicetuskan pada tanggal 13 Desember 1957 oleh Perdana Menteri Indonesia pada saat itu, Djuanda Kartawidjaja, adalah deklarasi yang menyatakan kepada dunia bahwa laut Indonesia adalah termasuk laut sekitar, di antara dan di dalam kepulauan Indonesia menjadi satu kesatuan wilayah NKRI.
Sebelum deklarasi Djuanda, wilayah negara Republik Indonesia mengacu pada Ordonansi Hindia Belanda 1939, yaitu Teritoriale Zeeën en Maritieme Kringen Ordonantie 1939 (TZMKO 1939). Dalam peraturan zaman Hindia Belanda ini, pulau-pulau di wilayah Nusantara dipisahkan oleh laut di sekelilingnya dan setiap pulau hanya mempunyai laut di sekeliling sejauh 3 mil dari garis pantai. Ini berarti kapal asing boleh dengan bebas melayari laut yang memisahkan pulau-pulau tersebut.
Deklarasi Djuanda menyatakan bahwa Indonesia menganut prinsip-prinsip negara kepulauan (Archipelagic State) yang pada saat itu mendapat pertentangan besar dari beberapa negara, sehingga laut-laut antarpulau pun merupakan wilayah Republik Indonesia dan bukan kawasan bebas. Deklarasi Djuanda selanjutnya diresmikan menjadi UU No.4/PRP/1960 tentang Perairan Indonesia. Akibatnya luas wilayah Republik Indonesia berganda 2,5 kali lipat dari 2.027.087 km² menjadi 5.193.250 km² dengan pengecualian Irian Jaya yang walaupun wilayah Indonesia tapi waktu itu belum diakui secara internasional.
Berdasarkan perhitungan 196 garis batas lurus (straight baselines) dari titik pulau terluar ( kecuali Irian Jaya ), terciptalah garis maya batas mengelilingi RI sepanjang 8.069,8 mil laut[1].
Setelah melalui perjuangan yang penjang, deklarasi ini pada tahun 1982 akhirnya dapat diterima dan ditetapkan dalam konvensi hukum laut PBB ke-III Tahun 1982 (United Nations Convention On The Law of The Sea/UNCLOS 1982). Selanjutnya delarasi ini dipertegas kembali dengan UU Nomor 17 Tahun 1985 tentang pengesahan UNCLOS 1982 bahwa Indonesia adalah negara kepulauan.
Pada tahun 1999, Presiden Soeharto mencanangkan tanggal 13 Desember sebagai Hari Nusantara. Penetapan hari ini dipertegas dengan terbitnya Keputusan Presiden RI Nomor 126 Tahun 2001, sehingga tanggal 13 Desember resmi menjadi hari perayaan nasional.

Deklarasi Djuanda” 13 Desember Perjalanan Panjang Menuju Negara Kepulauan

Desember adalah bulan bersejarah bagi Indonesia dan dunia. Dua peristiwa yang mengubah rezim kelautan nasional dan internasional terjadi di bulan ini. Pertama, Deklarasi Djuanda tanggal 13 Desember 1957, dan kedua, pengesahan Konvensi PBB tentang Hukum Laut pada 10 Desember 1982 di Montego Bay, Jamaika.

Dalam deklarasi yang dibacakan Perdana Menteri Djuanda, pemerintah Indonesia mengklaim bahwa segala perairan di sekitar, di antara, dan yang menghubungkan pulau-pulau atau bagian pulau-pulau yang termasuk daratan negara Republik Indonesia, dengan tidak memandang luas dan lebarnya adalah bagian-bagian yang wajar wilayah daratan negara Republik Indonesia, dan dengan demikian merupakan bagian daripada perairan nasional yang berada di bawah kedaulatan mutlak negara Republik Indonesia.

Deklarasi tersebut juga menyebutkan bahwa lalu lintas yang damai melalui perairan-perairan pedalaman ini bagi kapal asing terjamin, selama tidak bertentangan dengan kedaulatan dan keselamatan negara Indonesia. Penentuan batas laut teritorial yang lebarnya 12 mil yang diukur dari garis-garis yang menghubungkan titik-titik yang terluar pada pulau-pulau negara Republik Indonesia akan ditentukan dengan undang-undang.

Berdasarkan deklarasi tersebut maka mulai saat itu, fungsi laut antara tidak lagi sebagai pemisah antarpulau-pulau Indonesia, tetapi berubah menjadi alat pemersatu bangsa dan sebagai wahana bagi pembangunan, keamanan, dan pertahanan nasional. Presiden Abrurrahman Wahid kemudian menetapkan tanggal 13 Desember sebagai hari Kesatuan Nusantara Indonesia.

Selanjutnya, pengesahan Konvensi PBB tentang Hukum Laut (United Nations Convention on the Law of the Sea/UNCLOS) pada 10 Desember 1982 berlangsung di Montego Bay, Jamaika. Ketentuan-ketentuan yang tertuang dalam konvensi itu memberikan pengakuan terhadap negara kepulauan.

Indonesia berjuang selama 25 tahun dan berhasil gemilang merebut pengakuan masyarakat internasional atas konsepsi negara kepulauan. Namun dalam perjalanannya, sampai sekarang ini, bangsa ini masih saja dihadapkan pada tidak adanya kesamaan visi dalam membangun negara kepulauan.

“Archipelagic Policy”
Berdasarkan kedua peristiwa kelautan tersebut, negara kepulauan Indonesia memiliki posisi geografis yang sangat strategis yang melintang di antara dua samudera besar, yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik, dan di antara dua benua, yaitu BAsia dan Benua Australia. Indonesia memiliki kekayaan alam yang beraneka ragam, baik di darat maupun di laut. Namun demikian, sampai saat ini berbagai keunggulan dan keunikan Indonesia tersebut belum termanfaatkan secara optimal.

Catatan penulis dari beberapa kali forum diskusi yang membahas permasalahan negara kepulauan—termasuk diskusi di Sinar Harapan--terdapat beberapa permasalahan krusial yang dihadapi Indonesia sebagai negara kepulauan. Pertama, bangsa Indonesia sampai saat ini belum memiliki kebijakan nasional tentang pembangunan negara kepulauan (archipelagic policy) yang terpadu. Kebijakan yang ada selama ini hanya bersifat sektoral, padahal pembangunan di negara kepulauan memiliki keterkaitan antarsektor yang tinggi.

Kedua, lemahnya pemahaman dan kesadaran tentang arti dan makna Indonesia sebagai negara kepulauan dari segi geografi, politik, ekonomi, sosial dan budaya. Apalagi, itu belum ditunjang dengan sumber daya manusia yang andal. Saat ini Indonesia hanya memiliki 0,8% sumber daya manusia (SDM) kelautan yang lulus S1, S2, dan S3.

Ketiga, bangsa Indonesia sampai saat ini belum menetapkan batas-batas wilayah perairan dalam. Padahal, wilayah perairan dalam mutlak menjadi kedaulatan bangsa Indonesia. Artinya tidak boleh ada satu kapal asing pun yang boleh masuk ke perairan dalam Indonesia. Selain itu, bangsa Indonesia juga memiliki kedaulatan mutlak untuk mengelola sumber daya laut yang berada di wilayah perairan dalam.

Keempat, pertahanan dan ketahanan negara dari sisi matra laut yang mencakup: (1) belum optimalnya peran pertahanan dan ketahanan laut dalam menjaga keutuhan bangsa dan negara; (2) ancaman kekuatan asing yang ingin memanfaatkan perairan ZEEI; (3) belum lengkapnya perangkat hukum dalam implementasi pertahanan dan ketahanan laut; (4) masih terbatasnya fasilitas untuk melakukan pengamanan laut; (5) makin meningkatnya kegiatan terorisme, perompakan, dan pencurian ikan di wilayah perairan laut Indonesia; dan (6) masih lemahnya penegakan hukum kepada pelanggar hukum.

Menuju “Archipelagic State”
Ada lima tindakan yang mesti ditempuh untuk mewujudkan Indonesia sebagai negara kepulauan. Pertama, meningkatkan pemahaman pentingnya laut dari aspek geopolitik dan geostrategis kepada seluruh komponen. Sebagai negara kepulauan, Indonesia selayaknya memiliki armada pengamanan laut yang andal dan kuat guna menjaga keutuhan NKRI dan sumber daya alamnya.
Kedua, mengubah orientasi pembangunan dari land based oriented menjadi archipelagic based oriented. Konsep archipelagic based oriented adalah mencakup darat, laut dan udara. Berdasarkan hal tersebut, strategi pembangunan 25 tahun ke depan harus berpatokan pada road map menjadi negara maritim yang besar, kuat, dan makmur, dan didukung oleh pertanian yang maju dan industri yang modern.

Ketiga, menentukan batas-batas wilayah perairan pedalaman dan menetapkannya dalam bentuk peraturan pemerintah. Dengan adanya penetapan batas-batas perairan dalam tersebut, kapal-kapal negara lain tidak diperbolehkan melewati perairan tersebut tanpa kecuali. Selain itu, perlu juga dikaji tentang potensi yang terkandung dalam perairan pedalaman.

Keempat, mengembangkan sistem pendidikan berbasis kelautan pada sistem pendidikan nasional. Pemerintah daerah juga perlu didorong untuk mengalokasikan dana yang cukup bagi pengembangan pendidikan dan pelatihan kelautan di wilayahnya dan menerapkan teknologi kelautan tepat guna kepada masyarakat khususnya nelayan.

Kelima, mempercepat penetapan garis batas antara Indonesia dengan negara-negara tetangganya di kawasan laut. Beberapa yang perlu mendapatkan perhatian khusus adalah perbatasan dengan Filipina, khususnya di sebelah Selatan Mindanao antara Pulau Merampit, Mianggas, dan Marore yang oleh Filipina dianggap berada di dalam perairan yang termasuk dalam persetujuan Amerika-Spanyol 1898. Walaupun arbitrase Max Huber 1928 telah mengakui bahwa Pulau Mianggas adalah Pulau Hindia Belanda yang kini menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari Indonesia.

Selain itu, juga menetapkan garis batas yang menghubungkan antara batas batas laut wilayah antara Indonesia dan Malaysia di Selat Malaka dan antara Indonesia dengan Singapura di Selat Singapura, khususnya garis batasnya di sebelah barat Pulau Nipah sampai ke ujung Selat Malaka, dan di sebelah timur antara Batam dengan Changi.

Dalam memperingati Hari Nusantara ini hendaknya semua unsur masyarakat, politisi, pemerintah, aparat keamanan dan semua stakeholders kelautan lainnya dapat berperan aktif untuk mewujudkan Indonesia sebagai negara kepulauan yang kuat. Orientasi pembangunan ekonomi nasional berbasis kepulauan sudah merupakan kebutuhan yang mendesak. Demi kesejahteraan masyarakat dan menjaga keutuhan wilayah NKRI.

Penulis adalah Kepala Riset dan Kebijakan Kelautan pada Pusat Studi Pembangunan dan Peradaban Maritim.

Pengirim : Mukhtar, A.Pi, M.Si, Kepala Satker PSDKP Kendari
Email : mukhtar_api@yahoo.co.id
Blog : http://mukhtar-api.blogspot.com

tugas dan wewenang mpr 2004-2009

tugas dan wewenang  mpr
a.mengubah dan menetapkan uud
b.melantik presiden dna wakil presiden berdasarkan hasil pemilihan umum dalam sidang paripurna majelis:
c.memutuskan usul Dewan Perwakilan Rakyat berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi untuk memberhentikan Presiden dan /atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya setelah Presiden dan/atau Wakil Presiden diberi kesempatan untuk menyampaikan penjelasan dalam Sidang Paripurna Majelis;
d.Melantik Wakil Presiden menjadi Presiden apabila Presiden mangkat,berhenti,diberhentikan,atau tidak dapat melaksanakan kewajibannya dalam masa jabatannya;
e.Memilih dan melantik Wakil Presiden dari dua calon yang diajukan Presiden apabila terjadi kekosongan jabatan Wakil Presiden dalam masa jabatannya selambat-lambatnya dalam waktu enam puluh hari;
f.Memilih dan melantik Presiden dan Wakil Presiden apabila keduannya berhenti secara bersamaan dalam masa jabatnnya,dari dua paket calon Presiden dan Wakil Presiden yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang paket calon Presiden dan Wakil Presidennya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum sebelumnya sampai habis masa jabatannya selambat-lambatnya dalam waktu tiga puluh hari;
g.Menetapkan Peraturan Tata Tertib Majelis dan Kode Etik Anggota Majelis;
h.Memilih dan menetapkan Pimpinan Majelis;
i.Membentuk alat kelengkapan Majelis

John Naisbitt dan Megatrends

Saya hendak bercerita tentang John Naisbitt, penulis buku Megatrends 2000.
Seorang futuris yang mendeskripsikan secara jelas tentang apa saja
perubahan-perubahan besar yang terjadi di tahun 2000 lalu. Perubahan yang
sudah kita rasakan bersama sekarang, perubahan yang sepertinya masih layak
saya tuangkan dalam tulisan singkat ini. Tentu saja buku tersebut sudah
usang jika kita baru membacanya sekarang. Saya hanya ingin mencoba
mengingat-ingat kembali dari salah satu futurolog terkenal itu yang
ramalannya dipenuhi riset-riset mendalam dan lengkap, dipenuhi ribuan data
dari tim kerja yang lengkap dan dipublikasi dalam industri penerbitan yang
ditunggu-tunggu kaum akademis. Jauh sekali bila kita bandingkan dengan
futurolog semisal Mama Lauren yang kita kenal di infotainment. Ups, Mama
Laurent bukan futurolog ya? Hehehe...

Sepuluh tahun sebelum buku "Megatrends 2000" tepatnya tahun 1982, Naisbitt
ternyata juga menulis buku serupa, kurang "Hot" memang, yaitu "Megatrends"
(tanpa 2000). Bersama timnya, beliau mendeskripsikan perubahan-perubahan
besar dalam masyarakat kita (Dunia) dalam sepuluh poin penting :
1. Masyarakat Industri --> menjadi masyarakat Informasi
2. Teknologi Paksa --> menjadi High Tech / High Touch
3. Ekonomi Nasional --> menjadi Ekonomi Dunia
4. Jangka pendek --> menjadi Jangka Panjang
5. Sentralisasi --> menjadi Desentralisasi
6. Bantuan Institusional --> menjadi Bantuan Diri
7. Demokrasi Representatif --> menjadi Demokrasi Partisipatif
8. Hierarki --> menjadi Jaringan
9. Utara --> menjadi Selatan
10. Salah satu --> menjadi Pilihan Berganda

Beberapa hal dalam poin-poin di atas sudah kita rasakan bersama sebelum
tahun 2000 di Indonesia. Contohnya no. 1 di atas, bahwa masyarakat dunia
akan berubah dari masyarakat Industri menjadi masyarakat informasi. Dimulai
dengan meledaknya lulusan TI yang diiming-imingi dengan gaji tinggi dan
label "profesi calon menantu idaman", berkembangnya industri surat kabar dan
majalah yang dibebaskan dari SIUP. Atau kejatuhan pemerintahan Soeharto dan
pemimpin2 di Asia Tenggara lainnya berkat kecepatan informasi pager (sebelum
sms merebak). Bahkan beberapa poin lainnya dirasa masih relevan hingga
sekarang. Misalnya, dari sentralisasi ke desentralisasi. Sistem pemerintahan
kita pun berbenah diri dari arogansi pusat ke pembagian wewenang sehingga
menciptakan kewenangan penuh di daerah.

Sepuluh tahun kemudian Nasibit pun menulis megatrends berikutnya, yang kita
kenal dengan Megatrends 2000. Sebuah megatrends millenium (mille, bahasa
Latin = ulang tahun ke-1000). Buku ini lebih banyak mengisahkan tentang
peluang dan sisi positif dari perubahan dunia. Hal-hal manis sebagai
penghibur orang-orang yang membacanya. Naisbitt menyebut "orang-orang yang
melaporkan berita buruk hanya menjalankan pekerjaan mereka." Orang ini juga
menyebutkan, bahwa terobosan yang paling menggairahkan dari abad ke-21 akan
terjadi bukan karena teknologi, melainkan karena konsep yang meluas dari apa
artinya menjadi manusia. Sebuah pergeseran yang menempatkan manusia sebagai
faktor produksi dalam revolusi industri, menjadikan manusia sebagai subjek
pembangunan itu sendiri.

Apa yang Naisbitt ramalkan tentang 10 tahun berikutnya itu - Megatrends 2000
adalah sebagai berikut:
1. Boom Ekonomi Global tahun 1990-an
2. Renaisans dalam Seni
3. Munculnya Sosialisme Pasar-Bebas
4. Gaya Hidup Global dan Nasionalisme Kultural
5. Penswastaan Negara Kesejahteraan
6. Kebangkitan Tepi Pasifik
7. Dasawarsa Wanita dalam Kepemimpinan
8. Abad Biologi
9. Kebangkitan Agama Millenium Baru
10. Kejayaan Individu

Sekarang kita menginjak tahun 2010, saya belum mendengar atau membaca buku
Naisbitt yang baru. Barangkali karena Amerika tertimpa apa yg disebut
sebagai Tsunami Ekonomi, Perang Irak & Afghanistan, Terpilihnya presiden
berkulit hitam untuk pertama kalinya dalam sejarah Amerika, Israel -
Palestina yang tak kunjung damai dan kebangkitan ekonomi China. Barangkali
itulah yang membuat Naisbitt belum juga menelurkan apa ramalan beliau dalam
dasawarsa ini. Ketidakpastian dalam ekonomi dan bisnis membuat siapapun
harus mengencangkan ikat pinggangnya masing-masing, bila perlu bersembunyi
dari teriknya iklim krisis.

Naisbitt pun ternyata berkiblat pada China
<http://www.naisbitt.com/bibliography.html>sekarang. Daya tarik china yang
eksotik, energik dan massal membuatnya lebih tertarik membuat buku meganomik
berikutnya tentang china. Mungkin ini memang akhir dari Amerika.