Minggu, 26 September 2010

Seni dan Moral


Seni dan MoralOleh: RIZKI A. ZAELANI
PENGERTIAN UMUM, seperti diterangkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah ‘moral’ adalah: (i) ajaran baik-buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, dsb; akhlak; budi pekerti; susila; atau (ii) kondisi mental yang membuat orang tetap berani, bersemangat, bergairah, berdisiplin, dsb; isi hati atau keadaan perasaan sebagaimana terungkap dalam perbuatan; serta (iii) ajaran kesusilaan yang dapat ditarik dari suatu cerita. Namun demikian, dalam prakteknya, tak semua orang membuka kamus. Kebanyakan diantara kita memahami ‘moral’ melulu dalam pengertian (i) sebagai tata nilai yang baik dan luhur, tanpa menyadari lagi bahwa pengertian itu berkaitan dengan (iii) sumber-sumber ajaran kesusilaan yang representasikan melalui suatu narasi. Pengertian ‘moral’ bahkan sering terlupakan juga berarti sebagai (ii) kondisi mental atau perasaan yang direpresentasikan sebagai ungkapan atau perbuatan. Ihwal representasi itulah yang menghubungkan persoalan seni dengan moral.
Sejarah persoalan tentang relasi seni dan nilai-nilai moral telah berlaku panjang. Masalah ini tak hanya mencakup soal bagaimana ‘penilaian moral berlaku bagi seni’ atau karya seni, tetapi juga berlakunya persoalan ‘penilaian moral seni’. Dalam tradisi padangan estetik yang berlaku hingga kini, terdapat dua kutub yang sering diposisikan sebagai sikap yang bertentangan. Terutama melalui perkembangan prinsip-prinsip seni dan penciptaan seni yang kemudian dianggap memiliki sikap otonom, maka berkembang kepercayaan bahwa penilaian moral tentang seni berlaku terpisah dengan penilaian moral tentang pengalaman dan prektek kehidupan. Seni dianggap memiliki wilayah moralnya secara tersendiri, dan hanya bisa diuji melalui caranya sendiri secara khas. Pandangan ini disebut sebagai sikap ‘nominalisme’, didukung kaum ‘nominalis’, yang berkembang terutama seiring dengan pertumbuhan prinsip-prinsip modernisme dalam seni. Pandang yang lebih ‘tradisional’, disebut sebagai sikap ‘utopisme’; dan kaum ‘utopis’ menganggap bahwa moral seni justru berkaitan dengan perkembangan nilai-nilai dalam pengalaman hidup. Kedua pandangan ini sebenarnya memiliki titik pijakan yang sama, yang berusaha menempatkan posisi penting seni dam moral dalam peningkatan kesadaran manusia tentang nilai-nilai hidup. Dalam perkembangan seni hingga saat itu, kedua pandangan itu tak lagi dilihat sebagai dua kutub yang seolah berbeda sama sekali dan tidak memiliki hubungan satu dengan lainnya, selain justru sebagai aspek-aspek dualitas yang saling memperkaya makna kesatuannya.
Pada hubungan seni dan moral, sebenarnya terdapat aspek lain yang turut memperkaya pembicaraan tentang kaitan diantara keduanya, yaitu: kebebasan. Baik kaum nominalis maupun utopis sama-sama mensyaratkan pembicaraan tentang kebebasan. Kaum utopis percaya bahwa seni berkaitan dengan ontologi fiksi dan representasi, dengan demikian maka seni dan karya seni dianggap memiliki kapasitas untuk menunjukkan bahwa dunia dan segala pengalaman hidup itu bisa berlaku sebagai hal yang terjadi sebaliknya, atau: lebih baik. Maka seni dan ekspresi seni dianggap berlaku sebagai unsur yang akan mampu menghidupkan imajinasi setiap orang tentang nilai-nilai moral, dengan demikian seni berlaku membebaskan [beban] seseorang yang tumbuh dari pengalaman hidupnya. Bagi kaum nominalis, cara menghidupkan kebebasan imajinasi seni secara khusus dan khas yang paling mendapatkan perhatian. Imajinasi estetis tak hanya menggerakan kebebasan para seniman menyatakan representasi tentang nilai-nilai moral, tetapi juga menghidupkan kebebasan pihak yang menanggapi nilai-nilai moral melalui karya seni tersebut. Tentu saja, ihwal kebebasan estetis ini berlaku sebagai nilai pengalaman yang khusus, yang memisahkan pengalaman dan praktek hidup yang langsung dengan nilai-nilai pencapaian yang ditempuh melalui seni dan ekspresi seni. Kaum nominalis mendukung pentingnya aspek imajinasi estetik ini sebagai pra-kondisi penting bagi penilaian moral dan sikap otonom yang bersifat politis.
Dalam kurun perkembangan seni hingga masa kini, termasuk juga berlangsung di Indonesia, kedua cara pandang itu telah menjadi warisan sikap yang berlaku saling terpaut. Segi-segi sikap tertentu yang tumbuh dari masing-masing cara pandangan tersebut kini telah berlaku campur, dan tidak seluruhnya terjelaskan secara tegas dan ketat. Berkembangnya persepsi tentang seni dan moral, juga kaitan diantara keduanya, dalam berbagai manifestasi karya seni menunjukkan bahwa kedua merupakan implementasi dari sikap-sikap yang berlaku kultural. Persepsi tentang nilai-nilai seni, moral dan kebebasan berlaku dalam berbagai varian praktek kultural yang berbeda-beda, keseluruhannya bercampur serta mengandung kerangka hidup nilai-nilai yang berlaku secara umum sekaligus juga khusus; universal juga personal; global tapi juga lokal. Namun demikian, setidaknya, pengamatan terhadap sensitivitas ekpresi seni yang menunjukkan persepsi umum yang menyatakan anggapan bahwa seni, sepanjang seseorang menganggapnya penting, akan selalu berlaku pada sisi nilai-nilai kebebasan.
Kebebasan moral dan kebebasan seni merupakan dua pokok yang tak lagi bisa dianggap terpisah secara, sebagaimana halnya kita maklum bahwa bagaimanapun seni susah untuk bisa dipisahkan dari berbagai manifestasi nilai dan praksis hidup. Pandangan kaum nominalis, yang sering disalah artikan sebagai kaum elitis yang memarjinalkan pengalaman hidup, pada dasarnya juga bermaksud memuliakan nilai-nilai pengalaman hidup yang seolah-olah disangkalnya. Kebebasan juga yang menentukan penilaian seseorang tentang nilai-nilai moral, karena pada prakteknya nilai-nilai tersebut hadir serta tumbuh secara jamak dalam berbagai kerangka budaya dan peradaban. Dalam prakteknya, seni merepresentasikan respon seseorang terhadap nilai-nilai. Dalam menjalani kehidupan sehari-hari setiap orang tentu akan memiliki apa yang disebut sebagai ‘alasan bagi tindakan keseharian’ (every day reasoning), menyangkut pengetahuan kita tentang bahasa keseharian serta berbagai makna dari asosiasi verbalnya. Alasan-alasan tersebut tentu bersifat kultural, dikumpulkan serta berlaku sebagai hasil dari pengalaman keseharian aktivitas sosial dan berbagai perhitungan tentangnya. Diantara ‘alasan bagi tindakan keseharian’ tersebut juga berlaku ‘alasan-alasan moral’ (moral reasoning), sebagai praksis yang mendapatkan dasar pembenarannya dari sumber-sumber kepercayaan nilai yang dipahami setiap orang. Pada prakteknya, praksis moral ini berlaku sebagai keputusan yang secara terus-menerus dihadapkan pada pilihan-pilihan. Seni mengajarkan makna kebebasan untuk menyatakan pilihan tersebut.
Dalam perkembangan praktek seni rupa Indonesia sumber-sumber rujukan moral terutama berasal dari kepercayaan-kepercayaan agama dan budaya, melalui berbagai media narasi dan bentuk-bentuk simbolik yang mewakilinya. Seiring kemajuan modernitas Indonesia, muncul dan berkembang berbagai narasi ‘lain’ kemudian jadi rujukan moral, selain narasi yang telah jadi ‘tradisi’. Narasi-narasi ‘lain’ ini tak hanya bersumber pada keyakinan religi dan keyakinan budaya lokal saja, tetapi juga merujuk pada kelangsungan tata nilai yang besifat global―muncul sebagai isu-isu mengenai, misalnya: keseimbangan ekosistem dunia, perdamaian dunia, keadilan sosial, gaya hidup global, mitologi peradaban manusia, dll. Dalam implementasinya, berbagai rujukan tersebut bercampur dan berinteraksi. Dalam manifestasi karya-karya seni, relasi seni dan moral dinyatakan dalam tiga ‘strategi’ atau cara penyampaian, yaitu: (a) pernyataan tentang nilai-nilai keutaman dan kebaikan (goodness) hidup; (b) pernyataan melalui humor; dan (c) pernyataan yang mempertanyakan serta penyampaikan kritik.
Nilai-nilai keutamaan dan kebaikan adalah manifestasi yang berlaku umum di Indonesia menyatakan soal keyakinan hidup seseorang tentang makna kehidupan yang semestinya dijalani setiap orang. Representasi karya-karya dalam cara ini menyampaikan, baik secara langsung maupun tidak langsung, persoalan moral sebagai arah rujukan makna-makna yang bisa digali pada karya-karya yang dikerjakan oleh para seniman. Asumsi yang mendasari pengerjaan karya-karya ini menempatkan alasan atau jawaban moral tertentu sebagai landasasan penggalian makna-makna dari persoalan yang menjadi daya tarik maupun tantangan bagi para seniman untuk dihadapi.
Pernyataan melalui cara humor adalah fenomena yang umum dan berlangsung dalam berbagai bentuk peradaban di dunia. Dalam prakteknya, pernyataan humor ini disampaikan dengan cara yang berbeda-beda, dipengaruhi oleh kebiasaan, tradisi, maupun kode-kode budaya yang berlainan. Namun demikian, akan selalu terdapat ragam benang merah yang kadang mampu menunjukkan persinggungan jenis ‘selera humor’ satu peradaban dengan peradaban yang lainnya. Humor, bagaimanapun, adalah manifestasi dari ‘versi lain’ terhadap versi [penilaian, persepsi tentang kenyataan] yang dianggap umum dan telah dilumrahkan. Humor adalah sebuah ‘sub-versi’. Humor dan lelucon adalah sebentuk ‘penyimpangan’, bahkan bisa berlangsung sebagai manifestasi dari sesuatu di luar aturan: jadi semacam kekuatan ‘dis-order’. Representasi humor sering dikaitkan, dalam maknanya, sebagai bentuk perlawanan. Sesungguhnya, tidak selamanya berlaku semacam itu. Representasi humor justru tidak menunjukkan secara pasti pembelaan pada satu sisi pandangan tertentu (misalnya sebagai hal yang berlawanan dengan versi atau order yang resmi), selain ‘hanya’ menunjukkan kandungan ketidaksepahaman dengan versi resmi. Humor bisa dianggap sebagai representasi ketidak-sepahaman (discord) namun tanpa pernyataan konflik
Karya-karya yang menunjukkan kritik dan pernyataan yang mempertanyakan adalah versi lain dari representasi tentang ketidak-sepahaman. Dalam manifestasi sikap tersebut karya-karya dengan cara ini mengajukan ekspresi seni dalam posisi untuk ‘mempertanyakan’ situasi atau berbagai persepsi tentang realitas yang telah dianggap berlaku umum. Lebih jauh, karya-karya tersebut bahkan menunjukkan sikap tidak percaya. Representasi karya-karya yang menunjukkan sikap percaya dan tidak percaya tentang berbagai kenyataan dan persepsi tentang situasi hidup ini bisa dinyatakan secara langsung (berterus terang) maupun secara tidak langsung (dalam tipuan penyataan).
Ketiga cara untuk menyatakan hubungan seni dan moral ini, tentu saja, tidak bisa dipilah-pilahkan secara tegas dan ketat. Sebaliknya, lebih banyak karya-karya yang mengandung satu aspek cara secara menonjol namun tetap juga memiliki kaitan dengan cara-cara yang lainnya. [*]

Penulis: Kurator, dan staf pengajar di Fakultas Seni Rupa dan Disain, ITB.

Ilustrasi: Dua patung karya Abdi Setyawan berada di latar depan dari karya lukisan Tiarma Sirait. Karya-karya ini menjadi bagian atas Pameran Besar Seni Rupa MANIFESTO 2008 yang berlangsung di Galeri Nasional Indonesia (GNI). (foto: kuss)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar