Minggu, 26 September 2010

Bab-I-Pendidikan Kewarganegaraan

Bab I
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
A. Pendidikan Kewarganegaraan : Pengertian, Tujuan, Latar Belakang dan Landasan
1. Pengertian
Di bawah ini dikemukakan beberapa definisi tentang ilmu kewarganegaraan (CIVICS):
• The study of city government and the duties of citizens – kajian tentang pemerintahan negara dan kewajiban-kewajiban para warga negara (dari: The Advanced Learner’s Dictionary of Current English, 1954).
• The element of political science or that science dealing with right and duties of citizens – cabang ilmu politik atau ilmu yang berbicara tentang hak dan kewajiban para warga negara (Dictionary of Education, 1956).
• The department of political science dealing with right and duties of citizens – cabang ilmu politik yang berbicara tentang hak dan kewajiban para warga negara (Webster’s New Collegiate Dictionary, 1954).
• The science of right and duties of citizenship, esp. as the subject of a school course – ilmu tentang hak dan kewajiban-kewajiban kewarganegaraan, khususnya sebagai satu mata-pelajaran di sekolah (A Dictionary of American, 1956).
• Science of government – ilmu kepemerintahan (Webster’s New Concise Dictionary).
• The science of citizenship – the relation of man the individual to man organized collections – the individual to the State – ilmu kewarganegaraan – yang berbicara tentang relasi manusia sebagai individu dengan manusia sebagai masyarakat yang terorganisasi – manusia individual dengan Negara (Creshore, Education, VII, 264: 1886-1887).
• The study of government and citizenship – that is, the duties, rights and priviledge of citizens – studi tentang pemerintahan dan kewarganegaraan, yaitu tentang kewajiban-kewajiban, hak-hak dan peran dan kedudukan istimewa warga negara (Edmonson, hlm. 3-5, 1968).
Dari definisi-definisi di atas, kita melihat bahwa Pendidikan Kewarganegaraan atau Civics berbicara tentang 3 hal, yaitu (1) warga negara dengan hak dan kewajibannya; (2) pemerintah dan kepemerintahan; dan (3) negara.
Prof. Dr. Achmad Sanusi, S.H., MPA memberi pengertian Civics sbb.: “ilmu yang berbicara tentang kedudukan dan peranan warga negara dalam menjalankan hak dan kewajibannya sesuai dan sepanjang batas-batas ketentuan konstitusi negara yang bersang-kutan.” Studi Civics tidak bertolak dari negara atau masyarakat sebagai kesatuan makro, tetapi dari individu warganegara sebagai kesatuan mikro. Yang dibicarakan tentang individu dalam studi Civics adalah kelakuannya, hak dan kewajibannya, potensinya, kesempatannya, cita-cita dan aspirasinya, usaha dan kegiatannya, dll. sepanjang dan sejauh diatur dalam Konstitusi negara.
Apa pun definisi yang diberikan kepada Pendidikan Kewarganegaraan, hal yang jelas ialah bahwa Pendidikan Kewarganegaraan adalah suatu proses formasi dan transformasi diri para warga negara, penanaman dan/atau pembatinan nilai-nilai kehidupan, khususnya nilai-nilai kehidupan berbangsa dan bernegara, termasuk di dalamnya nilai-nilai moral dan religius. Tujuannya adalah agar setiap warga negara berkembang menjadi pribadi-pribadi yang utuh-menyeluruh, sehingga kelak mampu memainkan perannya sesuai panggilan hidupnya, bagi diri sendiri, bagi orang lain, masyarakat, bangsa dan negara. Dengan begitu, seluruh materi kuliah Pendidikan Kewarganegaraan dimaksudkan terutama untuk menggugah, menggerak-kan, memotivasi mahasiswa sebagai warga negara untuk menumbuhkan dalam dirinya semangat mengabdi dan berbakti kepada tanah air sebagai ungkapan cinta akan tanah air dan bela negara (nasionalisme, patriotisme) dalam berbagai bentuk dan cara, berdasarkan Panca-sila dan UUD 1945.
Keberhasilan pendidikan kewarganegaraan dapat dilihat dan diukur dari sejauh mana mahasiswa memahami dan mencerap materi yang disajikan, dan dari sejauh mana proses formasi dan transformasi diri terjadi atas mahasiswa, yang sebagai generasi muda mengem-ban tanggung jawab atas pembangunan bangsa dan negara di kemudian hari.
2. Tujuan, Visi, dan Misi Pendidikan Kewarganegaraan
Dalam SK Menteri Pendidikan Nasional No. 232/U/2000, pemerintah menegaskan bahwa Pendidikan Kewarganegaraan bersama Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Agama, tergolong di dalam kelompok Mata kuliah Pengembangan Kepribadian (MPK), yaitu kelompok bahan kajian dan mata pelajaran untuk mengembangkan manusia Indonesia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, berke-pribadian mantap, dan mandiri serta mempunyai rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan; MPK bertujuan pendayaan wawasan, pendalaman intensitas, pemahaman dan penghayatan. MPK wajib diberikan dalam kurikulum setiap program studi/kelompok program studi.
Untuk itu, Pendidikan Kewarganegaraan membekali dan memantapkan mahasiswa dengan pengetahuan dan kemampuan dasar dalam hal ihwal hubungan warganegara Indonesia yang Pancasilais dengan negara, dan hubungan antarsesama warganegara, kedudukan dan peran warganegara dalam menjalankan hak serta kewajibannya selaras dan sepanjang batas-batas ketentuan konstitusi negara Indonesia, serta pendidikan pendahuluan bela negara (PPBN). Tujuannya ialah agar para mahasiswa menjadi warga negara yang dapat diandalkan dalam kancah pembangunan bangsa dan negara Indonesia di segala bidang kehidupan, serta dalam kancah pergaulan antarbangsa. Dengan kemampuan dasar ini diharapkan mahasiswa: mampu menerapkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari, memiliki kepribadian yang mantap, berpikir kritis, bersikap rasional, etis, estetis, dan dinamis, berpandangan luas, bersikap demokratis dan berkeadaban.
Pengembangan manusia Indonesia sebagaimana dikatakan di atas mengandung makna, yakni pengembangan suatu kepribadian yang dengan tandas memancarkan keindonesiaan kita, kepribadian yang mencirikan citra diri, peran, dan kedudukan kita sebagai warga negara Indonesia. Singkatnya, kepribadian yang mengindonesia. Kepribadian seperti ini pada haki-katnya tidak lain tidak bukan adalah Kepribadian Pancasilais, kepribadian yang dibangun atas dasar nilai-nilai dasar dan luhur yang menjadi fundamen bangsa ini sebagaimana termaktup di dalam lima sila (Pancasila). Dalam lima sila Pancasila itulah terdapat jati diri bangsa, jiwa dan roh bangsa, pandangan hidup (weltanschaung) dan falsafah dasar bangsa. Oleh terbentuknya kepribadian Pancasilais ini dapat diharapkan tumbuhnya semangat nasionalisme dan patriotisme dalam diri setiap warga negara.
Namun tujuan Pendidikan Kewarganegaraan di Indonesia tidak hanya terbatas pada pembentukan suatu kepribadian keindonesiaan atau kepribadian yang mengindonesia atau kepribadian Pancasila. Dalam konteks globalisasi dan pergaulan internasional dewasa ini, kita tidak boleh menjadi orang-orang yang sangat eksklusif Indonesia dengan suatu sema-ngat nasionalistik yang picik dan tertutup. Memang, di satu pihak, de facto dan de jure kita adalah warga dari negara Indonesia. Namun, di lain pihak pada saat yang bersamaan, sesungguhnya kita juga adalah warga dunia ini seutuhnya, warga kosmopolitan. Sebagai warga kosmopolitan, kita harus berperilaku seturut dan selaras tuntutan hidup kosmopolitan itu. Tuntutan seperti itu semakin hebat seiring arus globalisasi dewasa ini. Bila tidak mau menjadi mangsa globalisasi dan kehidupan kosmopolitan, kita hendaknya membina suatu kepribadian kosmopolit, tidak hanya kepribadian keindonesiaan. Tujuannya ialah agar kita juga sanggup berperan-serta secara aktif dan kritis dalam pergaulan internasional, dan dalam membangun suatu “dunia baru” (new world) bersama bangsa-bangsa lain. Dengan kata lain, selain mengindonesia, kita juga mendunia; selain menjadi orang yang 100% Indonesia berdasarkan nilai-nilai Pancasila, kita juga menjadi orang yang 100% mendunia berdasarkan nilai-nilai kemanusiaan universal (humanisme universal).
Berdasarkan Keputusan DIRJEN DIKTI No. 43/DIKTI/Kkep/2006, tujuan Pendidikan Kewarganegaraan dirumuskan dalam visi, misi dan kompetensi sbb:
Visi Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi adalah merupakan sumber nilai dan pedoman dalam pengembangan dan penyelenggaraan program studi, guna menggambarkan mahasiswa memantapkan kepribadiannya sebagai manusia seutuhnya. Hal ini berdasarkan pada suatu realitas yang dihadapi, bahwa mahasiswa adalah generasi bangsa yang harus memiliki visi intelektual, religius, berkeadaban, berkemanusiaan dan cinta tanah air dan bangsanya.
Misi Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi adalah untuk membantu mahasiswa memantapkan kepribadiannya, agar secara konsisten mampu mewujudkan nilai-nilai dasar Pancasila, rasa kebangsaan dan cinta tanah air dalam menguasai, menerapkan dan mengem-bangkan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni dengan rasa tanggung jawab dan bermoral.
Kompetensi yang diharapkan adalah menjadi ilmuwan dan profesional yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air, demokratis, berkeadaban; selain itu, menjadi warganegara yang memiliki daya saing, berdisiplin, berpartisipasi aktif dalam membangun kehidupan yang damai berdasarkan sistem nilai Pancasila.
VISI Pendidikan Tinggi Nasional yang mau dicapai pada tahun 2010, berkenaan dengan mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan, adalah (a) hendak mengembangkan kemampuan intelektual mahasiswa agar menjadi warga negara yang berkualitas dan bertanggung jawab bagi kemampuan bersaing bangsa mencapai kehidupan yang bermakna, dan (b) hendak membangun suatu sistem pendidikan tinggi yang punya kontribusi dalam pembangunan masyarakat Indonesia yang demokratik, berkeadaban, inklusif, dan memelihara kesatuan dan persatuan nasional.
Dari rumusan visi thn 2010 di atas, MISI matakuliah Pendidikan Kewarganegaraan adalah: membantu mahasiswa memantapkan kepribadiannya agar secara konsisten mampu mewu-judkan nilai-nilai dasar Pancasila, rasa kebangsaan, dan cinta tanah air dalam menguasai, menerapkan, dan mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni dengan rasa tanggung jawab. Atau, membantu mahasiswa selaku warga negara agar mampu menghayati dan mewujudkan nilai-nilai dasar perjuangan bangsa Indonesia serta kesadaran berbangsa dan bernegara dalam menerapkan ilmunya secara bertanggung jawab terhadap kemanusiaan. Dengan lain kata, misi matakuliah Pendidikan Kewarganegaraan adalah: “membantu mahasiswa mem-batin-kan atau menginternalisasikan nilai-nilai luhur bangsa yang selama ini mendasari perjuangan bangsa Indonesia (baik perjuangan ‘meraih kemerdekaan’ dengan perlawanan fisik dan bersenjata, maupun perjuangan ‘meng-isi kemerdekaan’ dengan pembangunan di segala bidang) sehingga mereka secara sadar, aktif, kritis dan bertanggung jawab turut serta membangun bangsa dan negara dengan segala ilmu pengetahuan yang dimilikinya demi kemanusiaan.
3. Latar Belakang Pendidikan Kewarganegaraan
Semangat yang ada di balik rumusan tujuan, visi dan misi Pendidikan Kewarga-negaraan di atas kiranya mempunyai suatu latar belakang. Untuk itu baiklah di bawah ini dikemukakan beberapa faktor, baik internal maupun eksternal yang kiranya menjadi latarbelakang kuliah Pendidikan Kewarganegaraan ini.
3.1 Faktor-faktor Internal
Cukuplah dikemukakan dua faktor internal berikut:
(1) Keinginan batin sebagai bangsa dan negara yang merdeka dan berdaulat untuk “menukik” ke dalam diri sendiri, guna lebih “mengenal jati diri kita”. Jati diri yang mana? Pertama, jati diri individual kita masing-masing sebagai warganegara Indonesia. Di sini kita mau melihat: apa kedudukan dan peran kita, serta apa hak dan kewajiban kita sebagai warga negara, sesuai dan sepanjang batas-batas ketentuan konstitusi negara kita. Kedua, jati diri kolektif kita sebagai satu bangsa dan negara yang merdeka dan berdaulat, suatu paguyuban hidup bersama (suatu “convivium”). Di sini kita mau melihat: negara: tugas, fungsi dan tujuannya; apa hak dan kewajibannya, prinsip-prinsip orientasi dasar yang sebaiknya diperhatikan agar kehidupan negara diselenggarakan secara semestinya, apa saja yang harus dimiliki negara agar dapat berfungsi optimal dalam menjalankan tugasnya, apa saja yang menjadi ciri khas yang membedakan bangsa dan negara kita dari bangsa dan negara lain (identitas nasional). Karena negara kita adalah negara hukum-demokratis, maka kita juga mau melihat: apa hukum dan demokrasi itu, apa ciri dan manfaat keduanya, dan lain sebagainya.
Dalam konteks ini, apa yang dikatakan Ernest Renan tentang hakikat nasionalisme menjadi relevan bagi kita. Menurut Renan, nasionalisme itu pada hakikatnya adalah keinginan untuk hidup bersama, untuk membentuk suatu kehidupan bersama (convivium) dalam bentuk sebuah negara, bertumpu pada kesadaran akan adanya jiwa dan prinsip spiritual yang berakar pada kepahlawanan masa lalu yang tumbuh karena kesamaan penderitaan dan kemuliaan di masa lalu.
Akhir-akhir ini nasionalisme dan patriotisme a la Renan itu mulai pudar dengan merosotnya semangat nasionalisme dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebaliknya, sekarang berkembanglah suatu semangat primordialistik dan sektarian, yang cenderung mencurigai dan mencap kelompok lain sebagai kelompok yang tidak punya hak hidup di negeri ini; berkembanglah juga suatu semangat dan kecenderungan tidak saling percaya antarsesama anak bangsa, baik vertikal maupun horisontal, sejalan dengan semakin menjalarnya korupsi dan manipulasi di semua lini dan tingkatan birokrasi negara kita.
Selain itu ada tanda-tanda disintegrasi bangsa sebagaimana kita saksikan dalam sejarah bangsa kita. Satjipto Rahardjo , menyebut gejala ini sebagai penyakit “kehilangan keindo-nesiaan” atau “tidak menjadi Indonesia”, atau gejala atomisasi Indonesia; dalam atomisasi kehidupan berbangsa dan bermasyarakat ini, Indonesia tidak atau belum dilihat sebagai suatu realitas sejarah, tetapi baru sebatas sesuatu yang diimpikan, yang dibayangkan, suatu imagined nation. Menurut Satjipto, inilah penyakit yang sesungguhnya merupakan akar permasalahan dari gejala keterpurukan dan krisis multidimensi yang melanda Indonesia, bukan baru sekarang ini melainkan sudah sejak lama.
Oleh sebab itu, faktor keinginan batin untuk “menukik” ke dalam diri sendiri, guna lebih “mengenal jati diri” dan lalu bisa “menjadi diri sendiri” sebagai bangsa dan negara yang merdeka dan berdaulat, kami tempatkan sebagai faktor internal yang primer. Pentingnya pengenalan diri secara benar dan tepat demi tepatnya proses evaluasi diri dan menemukan solusi yang tepat, dikemukakan oleh Andi A. Malarangeng sehubungan dengan kekeliruan dalam mendefinisikan “Orde Baru” yang dampaknya sangat besar terhadap perwujudan semangat reformasi. Beliau menulis:
“Banyak di antara kita mendefinisikan rezim Orde Baru secara keliru, sehingga solusi untuk mengoreksinya pun keliru. Ada yang mendefinisikan rezim Orde Baru sebagai “orang-orang”. Menurut pemahaman ini, koreksi total terhadap Orde Baru adalah: singkirkan orang-orang Orde Baru, maka tamatlah riwayat Orde Baru. Tentu saja pemahaman ini keliru, karena mungkin saja “orang baru” muncul menggantikan “orang lama”, tetapi pola pikir dan perilaku kekuasaannya tetap sama dengan orang-orang Orde Baru.
Ada juga yang menyamakan Orde Baru dengan “partai politik” tertentu, dalam hal ini Partai Golkar. Bagi mereka, koreksi total terhadap Orde Baru adalah dengan membubarkan partai Orde Baru: “Bubarkan Golkar!” adalah semboyan mereka. Tentu saja pemahaman seperti ini tidak tepat. Bisa saja partai yang diidentifikasi sebagai partai Orde Baru dibubarkan dan partai baru bermunculan di panggung kekuasaan, tetapi perilaku kekuasaan rezim Orde Baru malah dilestarikan oleh partai-partai baru itu.
Itulah sebabnya Orde Baru sebagai suatu sistem rezim haruslah diartikan sebagai serang-kaian perilaku kekuasaan, yaitu perilaku kekuasaan yang otoriter dan sentralistik. Kombinasi dari otoriterisme dan sentralisasi kekuasaan menghasilkan pola kekuasaan yang hegemonik dan monolitik, yang berujung pada pengabaian hak-hak dasar warga negara, dan penghisapan kekayaan negara untuk kepentingan segelintir orang yang menjadi inti dari rezim, yang lazim disebut korupsi, kolusi, nepotisme (KKN).
Dengan demikian, siapa pun yang mempraktekkan perilaku kekuasaan yang otoriter dan sentralistik, yang cenderung hegemonik dan monolitik, “orang baru” atau “orang lama”, “partai baru” atau “partai lama”, pada dasarnya adalah kelanjutan rezim Orde Baru. Di kalangan maha-siswa lebih sering diistilahkan sebagai Orde Baru Jilid 2.
Koreksi logis terhadap pemerintahan yang otoriter dan kekuasaan yang sentralistik tentu saja adalah demokratisasi dan desentralisasi [cetak tebal, oleh pengutip]. Demokratisasi meng-hadirkan pluralisme politik, dan desentralisasi menciptakan distribusi kekuasaan yang ber-imbang antara pusat dan daerah. Demokratisasi dan desentralisasi bertujuan mengikis habis pola kekuasaan yang hegemonik dan monolitik. Pluralisme politik diwujudkan dengan sistem multi-partai yang meng-hadirkan kompetisi politik secara terbuka. Warga negara dipersilakan membentuk partai politik untuk bersaing mendapat dukungan rakyat. Rakyat adalah pemegang kedaulatan dalam negara demokrasi. ……………
Di Amerika ada sebuah pepatah: If it looks like a duck, walks like a duck, and talks like a duck, it’s a duck! Artinya, jika tampangnya seperti bebek, jalannya seperti bebek, dan bicaranya seperti bebek, pastilah ia seekor bebek. Artinya pula, jika perilaku kekuasaannya seperti Orde Baru, jika pemerintahannya otoriter dan sentralistik seperti Orde Baru, dan jika tendensi pola kebijakan politiknya hegemonik dan monolitik seperti Orde Baru, maka itu pastilah penjelmaan rezim Orde Baru. [huruf miring terjemahan arti oleh pengutip].
(2) Aneka krisis: Kita menghadapi tantangan-tantangan dari dalam bangsa sendiri berupa masalah-masalah kritis dalam semua bidang vital kehidupan berbangsa dan bernegara: ipoleksosbudhankam, yang pada hakikatnya tidak mencerminkan dan tidak sejalan nilai-nilai Pancasila Dasar Negara. Masalah-masalah aktual ini merupakan konsekuensi logis dari (a) gejala menipisnya kesadaran diri kita sebagai satu bangsa dan negara yang merdeka dan berdaulat dan yang sedang membangun diri dalam segala bidang kehidupan, sebagaimana dikatakan di atas, dan (b) runtuhnya kekuasaan Orde Baru, yang selama 32 tahun berkuasa menggunakan pendekatan security (keamanan) yang dengan sangat represif (menindas) memasung hak-hak konstitusional rakyat melalui berbagai kebijaksanaan yang bertentangan dengan konstitusi itu sendiri.
Akibat dari tidak atau kurang “mengenal diri” dengan baik dan menipisnya “kesadaran diri” sebagai bangsa dan negara yang merdeka dan berdaulat adalah kita tidak mampu melakukan suatu analisis SWOT yang serius dan mendalam demi keberhasilan proses pembangunan bangsa dan negara kita; akibat lanjutannya adalah kita tidak menyadari dan tidak mampu melihat dengan tepat (dan kalau toh melihat, sering mengabaikan dan menganggap sebagai bukan…): (a) manakah titik-titik kekuatan kita (Strength) yang harus kita kembangkan secara optimal, (b) manakah titik-titik kelemahan kita (Weakness) yang harus sebisa mungkin diminimalisir, (c) manakah kesempatan dan peluang (Opportunity) yang terbuka lebar bagi kita dan harus kita manfaatkan seoptimal mungkin untuk membangun bangsa dan negara kita, dan (d) manakah tantangan dan serangan (Threat) yang menghadang kita dalam membangun bangsa dan negara kita.
Sementara itu, pendekatan Orde Baru yang represif yang menekankan security dan stabilitas negara mengakibatkan: (a) minimnya partisipasi aktif dari rakyat dalam proses pengambilan keputusan-keputusan politik; (b) kebijakan-kebijakan pembangunan lebih bersifat top-down, karena para pemimpin negara menganggap diri “lebih tahu” tentang kebutuhan real rakyat; (c) pelanggaran HAM dalam segala aspeknya terjadi dengan sangat hebat, dan dianggap sebagai hal yang sah-sah saja demi kelangsungan pembangunan dan stabilitas negara; (d) hukum tidak berfungsi semestinya sebagai norma-norma kelakuan yang mengikat semua warga negara dan ada sanksinya bila dilanggar; hukum acapkali terkesan hanya berlaku untuk rakyat kecil yang tak berdaya; (e) praktik KKN merajalela di semua lembaga negara dan pada semua tingkatan birokrasi; KKN tidak dianggap sebagai praktik yang inkonstitusional, bahkan dianggap lumrah juga; (f) munculnya gerakan-gerakan separatis yang ingin memi-sahkan diri dari NKRI, misalnya GAM di Aceh (yang baru berakhir dengan kesepakatan damai Helsinki dan Pilkada langsung nan damai baru-baru ini), OPM di tanah Papua dan RMS di Maluku, yang masih terus hangat hingga sekarang; (g) maraknya konflik kekerasan dan kerusuhan berbau SARA, sesudah Orde Baru, yang menandai menguatnya semangat primordialisme dan sektarianisme dan sebaliknya mengakibatkan semakin merosotnya sema-ngat nasionalisme, atau persaudaraan nasional, atau kebersamaan sebagai satu bangsa. Contoh yang dapat kita sebut di sini misalnya: konflik Maluku pada tahun 1999; konflik Aceh yang berlangsung cukup lama dan baru dinyatakan selesai dengan tercapainya kesepa-katan damai Helsinki dan berlangsungnya Pilkada damai di Aceh baru-baru ini; konflik Papua yang mulai marak lagi sejak peristiwa Timika tahun 1999; kerusuhan Poso yang terjadi tahun 2000 hingga sekarang ini; kerusuhan Sampit – Kalimantan Tengah antara Suku Madura dan Daya; dan sejumlah peristiwa peledakan bom di Bali, malam Natal thn. 2000, hotel Mariot dan di dekat Kedutaan Australia, dan lain-lain kerusuhan di tempat lain; (h) dalam diri seluruh lapisan masyarakat atau rakyat tumbuh sikap apatis, “budaya diam”, “pasrah dan nrimo ing pandum”. Runtuhnya kekuasaan Orde Baru yang represif akibat desakan rakyat menunjukkan dengan jelas ketidakpuasan dan kekecewaan rakyat pada kekuasaan negara, dan bahwa “budaya diam”, “pasrah dan nrimo ing pandum” dari kalangan masyarakat luas itu telah melampaui batas ambang kesabaran manusiawi.
Runtuhnya kekuasaan Orde Baru telah mendorong pendulum dari kutub “keterpasungan demokrasi” menuju “kekebasan demokrasi”. Tumbangnya Orde Baru sungguh merupakan suatu kemenangan demokrasi, namun sayangnya kemenangan ini tidak didukung oleh dan dengan “infrastruktur mental” yang kondusif. Akibatnya, demokrasi diidentikkan dengan demonstrasi, yang tak jarang disertai tindakan dan perilaku anarkis. Demokrasi yang “kebablasan” sebagaimana ekses-ekses yang timbul dalam pelaksanaan otonomi dan desen-tralisasi pemerintah daerah semakin hari semakin mengarah ke desintegrasi dan kerancuan dalam memahami arti dan makna identitas nasional kita.
Masalah-masalah ini semakin menambah urgensi Pendidikan Kewarganegaraan. Mengapa? Karena, masalah-masalah itu mencerminkan perilaku-perilaku yang bertentangan sekali dengan hakikat negara, menunjukkan gelagat degradasi kehidupan berbangsa dan bernegara secara sangat signifikan, dan oleh sebab itu, mencoreng nama baik bangsa dan merendahkan martabat bangsa ke titik kritis yang memprihatinkan, dan cukup potensial menjerumuskan bangsa ini ke dalam jurang kehancuran.
3.2 Faktor Eksternal
Faktor kedua adalah faktor eksternal. Faktor eksternal yang paling berpengaruh luas dan mendalam adalah globalisasi yang melahirkan neoliberalisme dan kapitalisme yang meng-ejawantah dalam adagium borderless world atau one world development, melalui berbagai kesepakatan yang dituangkan melalui Konferensi Internasional seperti GATT, WTO, APEC, AFTA, dan lain-lain dengan implikasinya ialah tumbuhnya tata sosial baru. Globalisasi yang melahirkan neo-liberalisme dan kapitalisme ini melahirkan keterkaitan dan juga saling ketergantungan (interdependensi global) dan saling berkepentingan yang menembus batas-batas geografis suatu negara. Globalisasi membuat benua, kawasan, dan masyarakat di seluruh bulatan bumi (= globus) ini mulai menuju ke arah suatu kesatuan dan persatuan baru. Oleh sarana-sarana komunikasi dan transportasi canggih, informasi dan komunikasi yang cepat dan akurat, mulai lahirlah secara perlahan-lahan suatu hubungan antarmanusia dan masyarakat lintas batas-batas negara, lintas bangsa dan suku bangsa, lintas kebudayaan dan agama di bidang ekonomi dan perdagangan, di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, di bidang ekologi, bahkan di bidang sosial-politik dan kebudayaan.
Globalisasi menyebabkan bumi terasa kecil. Orang berbicara mengenai satu desa sejagad (global village). Orang makin menyadari bahwa bumi yang kecil ini merupakan planet yang dihuni bersama. Oleh sebab itu, semua individu dan masyarakat di negara mana pun diharapkan bertanggung jawab terhadap planet yang satu dan sama ini. Kesadaran ekologis bertumbuh pesat. Seluruh dunia mulai berteriak kalau hutan kita di Kalimantan atau di Sumatera terbakar, demikian pula kalau hutan tropis di kawasan kita atau di Brasilia dimusnahkan. Karena, hutan tropis merupakan paru-paru kita bersama. Green Peace meno-lak penangkapan ikan paus berlebihan, memprotes pemindahan limbah industri, dan turun tangan dengan sigap kalau minyak mentah mengotori laut. Bertanggung jawab terhadap eksistensi, bahkan terhadap keindahan serta kelestarian planet yang kita huni, itulah yang ingin ditanamkan pada semua warga dunia. Berkembanglah globalisasi di bidang ekologi.
Namun Ingomar Hauchler merumuskan dalam satu tesis, situasi dunia yang kurang meng-gembirakan: “Perkembangan global ditandai oleh dua tendens yang bertentangan. Semen-tara dunia makin berhubungan satu sama lain, kemampuan untuk menyelesaikan masalah-masalah dunia makin berkurang. Terjadi kesenjangan antara globalisasi dan kemampuan bertindak secara politis. Pada tahun-tahun terakhir ini, kita makin jauh dari tujuan yang diharapkan, yaitu menciptakan satu tata dunia untuk perkembangan dan perdamaian. Malah muncul tendens, kerja sama politis secara global melemah. Harapan, bahwa dengan PBB telah diletakkan satu dasar bagi tata dunia internasional sampai hari ini belum terpenuhi. Tampaknya pemikiran dan tindakan global lebih dibahayakan oleh cita-cita negara-negara nasional dan etnosentris.”
Selain di bidang ekonomi, globalisasi terjadi di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Di mana-mana di dunia orang mempelajari ilmu yang sama, yang dikembangkan dengan metode dan cara kajian yang sama pula. Masyarakat manusia mengenal dan meyakini paham, teori, paradigma, hipotesis, dan tesis-tesis yang sama. Lebih dari itu ilmu pengetahuan dan teknologi menghasilkan berbagai ragam alat, mulai dari yang sederhana seperti penanak nasi listrik sampai dengan yang canggih seperti personal computer dan labtop. Iptek menyebabkan manusia lebih mendalami seluk-beluk alam dengan hukum-hukumnya. Oleh karena itu, manusia di satu pihak dapat memanfaatkan alam dan kekuatan-kekuatannya tetapi di lain pihak menyadari bahwa perlu dipelihara kelangsungan dan kelestarian alam itu sendiri.
Di bidang politik, politik belum mampu keluar dari ‘batas kepicikan’ kepentingan dan minat negara nasional masing-masing. Banyak kesepakatan internasional yang dibuat demi kebersamaan di planet yang satu dan sama ini tetap tinggal huruf mati di atas kertas. Kesepakatan itu atau tidak diratifikasi oleh negara nasional, atau – yang lebih menyedihkan lagi – diratifikasi tetapi tidak pernah diimplementasikan. Hauchler berbicara mengenai menguatnya asimetri dan antagonisme antarnegara: “Secara politis, dunia tetap masih meru-pakan dunia negara-negara (Staatenwelt). Kepentingan-kepentingan khas, terutama dari negara-negara besar dan kekuatan-kekuatan ekonomi raksasa, menentukan hubungan-hubungan internasional. (…) Jumlah konferensi dan konvensi internasional demikian pula lembaga-lembaga antarbangsa meningkat pesat. Namun hingga kini semua itu belum mampu mengurangi atau bahkan menggantikan inti monopoli pengaturan oleh masing-masing negara nasional.”
Memang globalisasi ekonomi dan teknologi mulai menggerogoti kedaulatan masing-masing negara. Akan tetapi masyarakat manusia belum berhasil mengatur dan menata semua dalam kebersamaan, sebagai warga dunia yang sama-sama bertanggung jawab terhadap kehidupan di planet ini. Masalah lebih sering ingin diselesaikan secara bilateral atau multilateral antar-negara daripada di dalam forum kebersamaan seluruh bangsa di dunia. Penyelesaian dan penanganan masalah secara integratif dibutuhkan. Akan tetapi kebanyakan negara nasional belum rela mengurangi kedaulatannya. Bagaimanapun arus globalisasi yang melanda dunia merupakan langkah maju menuju kesatuan dan persatuan umat manusia.
Pada era globalisasi tidak saja semangat perdagangan bebas tetapi manusia juga mendam-bakan menjadi manusia yang kosmopolitan, yaitu manusia yang berpandangan bahwa seseorang tidak perlu mempunyai kewarganegaraan, tetapi menjadi warga dunia. Pada era inilah timbul konsep dunia tanpa batas, yang sudah barang tentu akan ditolak oleh negara-wan dan politisi nasional. Hakikat konsep ini sebenarnya merupakan perkembangan berdiri-nya perusahaan antar-bangsa (multinational corporation), yang tak lain merupakan bentuk liberalisasi ekonomi dunia. Globalisasi menurut John Naisbitt menyebabkan timbulnya paradox global, yaitu banyak perusahaan besar melemah dan jatuh bangkrut (terpecah) namun perusahaan kecil menguat karena mampu memanfaatkan jaringan teknologi komu-nikasi yang makin kuat/luas. Dengan demikian perusahaan/organisasi kecil makin kuat karena kaya fungsi dan lebih efisien. Ini berakibat pula bahwa persyaratan kerja menjadi tinggi, tidak saja persyaratan pengetahuan dan keterampilan tetapi juga masalah perilaku (terkait masalah etos kerja), kemampuan mengenali adat istiadat dan budaya lokal. Para pekerja dituntut untuk menguasai persyaratan ini apabila tidak dipahami, akan mudah timbul konflik yang sudah barang tentu terkait dengan masalah budaya setempat.
Sebagai akibat dari keinginan terbentuknya dunia tanpa batas, timbullah konflik baik antara negara maupun intern negara nasional. Konflik-konflik yang semula berbasis ekonomi banyak diselesaikan melalui jalur politik sambil menunjukkan identitas masyarakat. Banyak negara nasional terpecah menjadi negara kecil yang berbasis etnik. Kelompok etnik ini saling berhadapan untuk memperjuangkan kepentingannya, sehingga terjadi konflik. Konflik tidak jarang diselesaikan dengan jalan kekerasan. Konflik antarmanusia (antar-bangsa, suku, ras maupun agama) ini menurut Quincy Wright dipicu oleh 4 macam perubahan, yaitu:
(1) dunia “menciut”: Dunia yang menciut sebagai akibat kemajuan teknologi transportasi (lebih-lebih setelah pesawat terbang menjadi angkutan massal) yang berakibat pula, manusia semakin ingin berkelana dan mendunia;
(2) percepatan jalannya sejarah: Revolusi teknologi komunikasi memicu percepatan jalannya sejarah, yang didorong oleh kemajuan ilmu pengetahuan yang berakibat per-kembangan yang cepat telekomunikasi, computing dan penyiaran yang membangkitkan kita dalam kehidupan serba elektronik seperti E-Commerce, E-Banking, E-mail dan sebagainya. Perangkat-perangkat tersebut merupakan perangkat yang umum pada masa kini (sejak medio dekade 1960-an) sehingga menimbulkan semangat untuk melakukan perdagangan bebas, yang selanjutnya menyebabkan masyarakat berpikir dan bertindak melampaui batas-batas kenegaraan dan kebangsaan. Hal ini tidak mustahil terjadi pada negara kita.
(3) kemajuan teknologi persenjataan: Kemajuan teknologi persenjataan mempunyai dampak positif dan negatif. Salah satu dampak negatifnya adalah makin maraknya terrorisme dan tindak kriminal antar negara dengan menggunakan peralatan yang canggih. Dampak positifnya didapatnya peralatan yang lebih kuat/awet dan ringan dan mudah dioperasikan.
(4) kebangkitan demokrasi: Kebangkitan demokrasi dipicu adanya kesadaran masyarakat tentang egalitarianisme, yaitu semangat kesamaan derajat dan upaya mengutamakan penggunaan hak-hak individu secara meluas dan sedikit melupakan adanya kewajiban individu terhadap individu lainnya.
Globalisasi yang tak terelakkan ini harus kita hadapi dengan berusaha mempersiapkan segenap lapisan masyarakat Indonesia, khusus para generasi muda, melalui program-program pembinaan dan pelatihan yang relevan, agar dapat berkecimpung dengan baik dan manusiawi di dalam era globalisasi, berkemampuan kompetitif untuk memperoleh lapangan kerja. Program-program pembinaan untuk menghadapi tantangan globalisasi ini menjadi program perjuangan non-fisik yang berlandaskan nilai-nilai budaya dan perjuangan bangsa, sehingga kita tetap memiliki wawasan dan kesadaran berbangsa dan bernegara, serta kesatuan bangsa dalam rangka tetap utuh dan tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pembinaan dan pelatihan yang relevan menyangkut:
• penguasaan berbagai jenis ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya jenis yang kurang diminati tetapi sangat diperlukan demi peningkatan mutu kehidupan seperti ilmu alam, biologi, fisika, kimia, dan matematika. Kesalahan umum yang dilakukan sistem pendidikan nasional kita harus dihindari. Tidak perlu seluruh kawasan ilmiah dijelajahi. Harus dibuat seleksi ketat. Yang wajib dipelajari dengan cermat adalah hal-hal inti yang penting bagi pengembangan kompetensi-kompetensi dasar (basic competencies).
• Penguasaan keterampilan-keterampilan teknis. Di sini pun dibuat seleksi ketat. Keteram-pilan dasar dipelajari, selanjutnya diberikan peluang untuk pengembangan berbagai keteram-pilan yang bertumpu pada keterampilan dasar tsb.
• Penanaman sikap-sikap keprofesian, artinya sikap yang dibutuhkan agar seseorang dapat menjalankan tugas dengan penuh tanggung jawab tetapi serentak dengan gembira dan bangga atas pekerjaan dan hasil pekerjaannya. Ada sikap yang berbeda yang dituntut oleh profesi yang berbeda. Seorang penyimpan arsip misalnya diharapkan mampu bungkam seribu bahasa dan tidak menceritakan apa saja yang diketahuinya hanya karena pekerjaan kearsipannya. Padahal seorang PR (public relation) justru harus mampu membuka mulutnya, berkomu-nikasi ke kiri dan kanan, bahkan sedikit “ngecap” agar sesuatu dapat diminati orang lain. Akan tetapi ada sikap yang dituntut oleh semua profesi seperti: ketelitian, taat waktu, taat prosedur, taat janji, jujur dan dapat dipercaya dst.
• Penanaman sikap-sikap kemanusiaan luhur seperti peka terhadap pendapat, kehen-dak dan aspirasi orang lain, rela membantu, terbuka secara ikhlas.
• Sambil mengembangkan sikap, sudah disentuh apa yang sekarang dianggap lebih penting untuk keberhasilan manusia yaitu aspek: kecerdasan emosional (emotional intelligence). Salah satu aspek penting kecerdasan emosional adalah kemampuan bersimpati dan berempati, kemampuan memahami gejolak perasaan sendiri, lalu mengendalikannya, dan kemampuan berkomunikasi dan memimpin (leadership). Di satu sisi keman-dirian berdasarkan percaya diri yang seimbang dikembangkan, tetapi di sisi lain dibina dan dilatih kemampuan bekerja sama dalam tim. Hal-hal ini sangat penting baik untuk bekerja sama maupun untuk bersaing secara fair.
• Dalam rangka bekerja sama antarbangsa mutlak diperlukan penguasaan bahasa asing, khususnya bahasa internasional. Jangan kita dihambat oleh patriotisme picik yang menyebab-kan peluang-peluang diambil orang lain. Sehubungan dengan ini penguasaan teknik ber-komunikasi dan berinteraksi melalui media komunikasi canggih perlu pula dikuasai.
• Supaya dapat bertindak secara global, orang harus memiliki global mental set yang intinya adalah memiliki pandangan dan sikap luas, yang selalu menempatkan diri sebagai warga dunia yang bertanggung jawab terhadap kepentingan masyarakat manusia. Masalah-masalah masyarakat dunia seperti yang sudah dikedepankan sebelum ini harus diinternalisasi menjadi masalah keprihatinannya juga.
• Pembinaan dan pelatihan harus dilakukan bukan dengan cara-cara satu arah, yang mengungkung kemandirian, dinamika, prakarsa, kreativitas dan improvisasi. Semua dilaku-kan dalam proses interaksi aktif, yang merangsang komunikasi, mendorong kreasi dan prakarsa. Maklum di era globalisasi inventiveness yang mengandalkan prakarsa dan kreati-vitas diperlukan.
Secara singkat, dalam menghadapi era globalisasi, tugas kita semua adalah mengupayakan agar hasil didik Indonesia berkemampuan kompetitif untuk memperoleh lapangan kerja, dengan persyaratan kerja meliputi: (1) Pengetahuan dan keterampilan, berupa kemampuan menghitung, menganalisis, mensintesis, kemampuan manajerial dan komunikasi, serta mema-hami bahasa asing; (2) perilaku menghadapi pekerjaan, yang meliputi sifat kepemimpinan, mampu bekerja dalam tim, dapat bekerja lintas budaya dan berkepribadian; (3) mengenal sifat pekerjaan, meliputi terlatih etika kerja, paham globalisasi, flexible, pemilihan kerja.
Persyaratan kemampuan hasil didik kini pun berubah, yaitu kemampuan analisis, mampu bekerja sama, serta dapat kerja lintas budaya dan lintas disiplin. Oleh karena itu, pendidikan tinggi dituntut agar lebih humanis serta diharuskan memuat nilai-nilai hak asasi manusia. Tuntutan lainnya adalah pendidikan diharapkan menyatu dengan gerak pembangunan (link and match), proses pembelajaran sepanjang hayat (long life education) serta mampu bersaing dalam internasionalisasi lapangan kerja. Adalah tugas kita semua untuk membangun dan membina kemampuan kompetitif. Kemampuan kompetitif bangsa (nasional) hanya dapat berhasil atas dasar kepribadian nasional yang kuat dan berbudaya. Dalam kaitan ini, menjadi tanggung jawab Perguruan Tinggi untuk menyiapkan peserta didik dengan ilmu pengetahuan dan pemahaman sebagai masyarakat madani yang baik dan mengarah pada kehidupan yang layak.
UNESCO pada akhir abad XX menyarankan adanya empat kelompok bahan ajar di Per-guruan Tinggi, yaitu kelompok (1) learning to know; (2) learning to do; (3) learning to be; (4) learning to live together. Departemen Pendidikan Nasional membagi menjadi lima kelompok: (1) Matakuliah Keilmuan dan Keterampilan; (2) Matakuliah Keahlian Berkarya; (3) Matakuliah Perilaku Berkarya; (4) Matakuliah Pengembangan Kepribadian, dan (5) Matakuliah Berkehidupan Bersama Bermasyarakat. Matakuliah Pendidikan Kewargane-garaan merupakan salah satu mata kuliah pada kelompok matakuliah Pengembangan Kepribadian.
Sebagai pengampu matakuliah ini, para dosen dituntut mengajak peserta didik mengem-bangkan potensi dirinya agar memiliki: (1) kemampuan pengendalian diri; (2) kepribadian; (3) kecerdasan dan keterampilan; serta (4) akhlak mulia yang diperlukan oleh dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Pengembangan potensi diri ini sangat diperlukan agar mahasiswa tidak terbawa dampak sampingan dari globalisasi. Globalisasi tidak dapat dihindari, namun harus kita lewati dengan bekal unggul secara intelektual, anggun secara moral, kompeten, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi serta memiliki komitmen tinggi untuk berbagai peran sosial.
4. Sejarah Pendidikan Kewarganegaraan
Menanggapi usulan UNESCO agar setiap negara di Asia Pasifik memberikan bahan ajar yang mengarah kepada pembangunan karakter bangsa, maka salah satu bahan ajar adalah Pendi-dikan Kewarganegaraan, civic education, civics. Civics pertama diperkenalkan di USA pada thn. 1790 dalam rangka “meng-amerika-kan bangsa Amerika” atau yang dikenal dengan nama “theory of Americanization”. Materi yang dibahas adalah: masalah pemerintah dan kepemerintahan, serta hak dan kewajiban warga negara. Selanjutnya, konsep ini diikuti oleh negaranegara lain termasuk negara-negara jajahan dengan isi yang berbeda-beda. Namun pada hakikatnya, adalah bagaimana menjadi warga negara/kawula negara yang baik dan dapat melaksanakan hak dan kewajiban, serta berupaya agar peserta didik menjadi patriot bagi negaranya.
Di Indonesia Pendidikan Kewarganegaraan mulai diselenggarakan pada tahun ajaran 1973/1974 sebagai bagian dari kurikulum pendidikan nasional. Tujuannya: menumbuhkan kecintaan pada tanah air dalam bentuk Pendidikan Pendahuluan Bela Negara (PPBN), yang dilaksanakan dalam dua tahap, yaitu tahap awal, yang diberikan kepada peserta didik Sekolah Dasar sampai Sekolah Menengah dan Pendidikan Luar Sekolah dalam bentuk Pendidikan Kepramukaan, sedangkan tahap lanjut diberikan di Perguruan Tinggi dalam bentuk Pendidikan Kewiraan.
Pada awal penyelenggaraan, Pendidikan Kewarganegaraan diberi nama mata kuliah Pendi-dikan Kewiraan, berdasarkan Surat Keputusan Bersama Mendikbud dan Menhankam Thn. 1973. Dalam Surat Keputusan itu, Pendidikan Kewiraan merupakan realisasi pembelaan negara melalui jalur pengajaran dengan tujuan agar mahasiswa: (1) cinta tanah air; (2) sadar berbangsa dan bernegara; (3) yakin akan ideologi Pancasila, serta (4) rela berkorban kepada negara dan bangsa. Isi kurikulum lebih mengarah pada ajaran tentang pertahanan keaman-an nasional, dan sangat berciri doktrinal.
Dengan diundangkannya UU No. 20/1982 tentang Pokok-pokok Penyelenggaraan Pertahanan Keamanan Negara dan UU No. 2/1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional ditentukan, bahwa pendidikan kewiraan adalah bagian dari pendidikan kewarganegaraan dan wajib diikuti oleh semua mahasiswa warganegara Indonesia. Isinya masih berciri doktrinal sama dengan Pendidikan Kewiraan.
Amanat UU No. 2/1989 ttg Sistem Pendidikan Nasional, nampaknya baru ditindaklanjuti pada era Reformasi, melalui Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi. Berdasarkan Keputusan Dirjen Dikti No. 38/DIKTI/Kep/2002, tujuan Pendidikan Kewarganegaraan diru-muskan sbb: (1) mengantarkan peserta didik memiliki wawasan kesadaran bernegara untuk bela negara dan memiliki pola pikir, pola sikap dan perilaku untuk cinta tanah air Indonesia; (2) menumbuh-kembangkan wawasan kebangsaan, kesadaran berbangsa dan ber-negara sehingga terbentuk daya tangkal sebagai ketahanan nasional; (3) menumbuh-kembangkan peserta didik untuk mempunyai pola sikap dan pola pikir yang komprehensif, integral pada aspek kehidupan nasional.
Sebelum Sistem Pendidikan Nasional diundangkan pada era Reformasi, pada Loka-karya Dosen Pendidikan Kewarganegaraan, disarankan kompetensi Pendidikan Kewarganegaraan adalah: (1) Menjadi warga negara yang commited terhadap nilai-nilai HAM dan demokrasi dan berpikir kritis terhadap permasalahan HAM dan demokrasi; (2) berpartisipasi dalam upaya menghentikan “budaya kekerasan” dengan “budaya damai”; (3) berpartisipasi dalam menyelesaikan konflik dalam masyarakat, dilandasi Sistem Nilai Pancasila; (4) memiliki pengertian internasional, menjadi warganegara yang kosmopolit; (5) kontribusi terhadap berbagai persoalan publik.
Dengan merujuk pada UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pendidikan Kewarganegaraan dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang: (1) memiliki rasa kebangsaan, dan (2) cinta tanah air.
=========

Tidak ada komentar:

Posting Komentar